Games

Showing posts with label parenting. Show all posts
Showing posts with label parenting. Show all posts

Anak Angkat dalam Islam

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullaahu
Tanya:
Bolehkah menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat dalam keluarga kita di mana kita menganggapnya seperti anak sendiri? Lalu bagaimana hijab dengannya bila si anak sudah baligh?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau, “Dahulu di jaman jahiliah, orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat mereka seperti anak mereka yang hakiki atau seperti anak kandung dari segala sisi; dalam hal warisan, dalam hal bolehnya anak angkat tersebut berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri mereka, dan dianggapnya istri mereka sebagai mahram bagi anak angkat tersebut.
Adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat. Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:
1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚذَ‌ٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan bahwa ucapan seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya). Bahkan tidaklah mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi selain ayahnya. Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang lelaki tidaklah mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang lain, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung1. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban anak-anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka adalah saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.
2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan di atas2. Juga disebutkan bahwa dalam perkara anak angkat, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya3.” (An-Nisa’: 33)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu yang menyatakan, “Ayat ini hanyalah turun terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam perkara mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat4, sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan dzawil arham5 dan ‘ashabah6. Allah ‘Azza wa Jalla meniadakan adanya hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat tersebut dalam bentuk wasiat.”7
3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya. Hal ini tampak dengan Allah ‘Azza wa Jalla menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang dulunya merupakan anak angkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang hal tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan hikmah dari kejadian tersebut dengan firman-Nya:
زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا
“Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
Berarti dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri anak-anak angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka telah bercerai).
4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab)….”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)
5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku, yaitu:
وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
“Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نَقْرَأُ: وَلاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits yang shahih dinyatakan:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan ia tahu orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.”8
Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan berikut ini:
Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قَدَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُغَيْلِمَةَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ لَنَا مِنْ جَمْعٍ، فَجَعَلَ يَلْطَخُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُوْلُ: أُبَيْنـِيَّ –تَصْغِيرُ ابْنِي– لاَ تَرْمُوا الْجُمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jumrah sampai matahari terbit.”9
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat.10”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 889-891)
Footnote:
1 Awal ayat di atas berbunyi:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/jantung dalam rongganya….” (Al-Ahzab: 4)
2 Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin….”
3 Awal ayat ini adalah:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
4 Wasiat di sini tidak lebih dari 1/3 harta si mayit.
5 Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan.
Ahli waris terbagi dua:
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
6 ‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak mendapat semua harta si mayit.
7 Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57.
8 HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217.
9 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
10 Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.

Mendidik Bukan Sekedar Menyekolahkan!

Data sensus penduduk di negeri ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduknya beragama islam. Ini adalah sebuah realita yang seharusnya dengannya kita bisa melihat adanya sebuah generasi yang tangguh, tetapi ternyata tidak.
Mari kita lihat keadaan diri dan anak-anak kita. Kenyataannya masih sangat sedikit yang benar-benar serius memperhatikan pendidikan. Sebagian besar acuh dan tidak peduli…
Mungkin banyak yang merasa keberatan dengan pernyataan di atas dan menyanggah: “TIDAK! Saya memperhatikan pendidikan anak-anak saya! Saya akan melakukan segalanya demi pendidikan mereka. Seandainya harus menjual tanah, saya akan melakukannya untuk bisa menyekolahkan mereka sampai jadi sarjana! Biarpun saya cuma lulusan SMP, tapi saya ingin anak saya berpendidikan tinggi!”
Seperti inilah yang kebanyakan kita pahami tentang kewajiban mendidik anak, yaitu menyekolahkan anak sampai tinggi, atau bagaimana supaya anak menjadi cerdas, pintar, dan tidak gagap teknologi.
Untuk bisa menyekolahkan anak sampai sarjana, kita rela menjual tanah atau cari hutangan tapi untuk agama mereka kita tidak peduli.
Kita bisa geger ketika melihat nilai matematika anak kita dapat angka 3, lalu segera keliling cari tempat kursus yang bagus untuknya. Tapi kita tidak peduli (baca: tidak geger) ketika anak kita diajari pelajaran PPKN di sekolah; anak kita diajari bahwa agama di Indonesia ini ada lima dan semua agama itu sama. Semuanya mengajarkan kebaikan, jadi harus saling menghormati. Padahal telah nyata kebenaran bahwa agama yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhoi hanyalah islam. Kata “hanyalah” menunjukkan bahwa tidak ada yang lain. Hal ini termasuk hal yang besar bagi seorang muslim yang tidak layak untuk disepelekan karena ini menyangkut aqidah seseorang.
Kebanyakan dari kita, seandainya pun memperhatikan kelakuan anak, berkelakuan baik yang dimaksud tolok ukurnya adalah masyarakat. Jadi ketika melihat putri kesayangan jalan-jalan ke mall dengan pakaian ‘pas-pasan’ bersama teman laki-lakinya, ini -menurut pengertian di sini- masih termasuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat menganggap wajar bagi seorang ABG. Atau ketika putra kesayangan membeli majalah untuk melihat horoscope (ramalan bintang), ini juga masih masuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat juga menganggap ini adalah hal yang lumrah. Padahal jika dilihat dari tolok ukur yang benar, keduanya bertentangan dengan syariat.
Wahai para pendidik!
Sikap mendidik yang seperti ini secara tidak langsung seperti kita mengatakan pada anak kita: “Wahai anakku! Kejarlah duniamu! Lupakan akhiratmu!”
Padahal tentang kehidupan dunia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)
Bahkan Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Rum:7)
Ayat di atas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan.
Adapun para ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah ‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.” (Taisir Karimir Rahman 4/75)
Dunia oh… dunia!
Membuat lalai para pengejarnya!

Perhatikanlah dalam hadis ini bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengancam dengan kehinaan jika umat islam sibuk dalam urusan dunia dan lalai dari urusan akhirat!
Diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda yang artinya:
“Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (satu barang dengan dua harga-termasuk salah satu jenis riba) dan kalian sibuk dengan urusan peternakan serta urusan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kerendahan kepada kalian yang tidak akan dicabut dari kalian sebelum kalian kembali kepada agama kalian.” (Riwayat Abu Daud (3462) dan riwayat ini shahih)
Wahai pendidik!
Untuk mengangkat umat ini dari kehinaan Allah telah memberi solusi, yaitu dengan kembali pada dien yang lurus. Kondisi kaum muslimin saat ini masih jauh dari nilai-nilai islam. Kita bisa melihat saat adzan dzuhur dikumandangkan, masjid-masjid sepi dari para jamaah padahal pada waktu yang bersamaan pasar-pasar dan jalan-jalan ramai dipenuhi oleh kaum muslimin. Kita juga bisa melihat orang-orang yang berusaha untuk berpegang teguh pada sunnah dianggap aneh. Seperti misalnya celana cingkrang (di atas mata kaki), jenggot, jilbab syar’i, tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis, menjauh dari ibadah-ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih banyak lagi. Ini adalah keadaan yang menyedihkan karena syariat islam dipandang asing oleh pemeluknya sendiri.
Mari kita belajar dari doa Nabi Ibrohim ‘alaihissalam. Ketika beliau berdoa tentang anak dan keturunannya, pandangannya jauh kedepan. Tidak sekedar pada kenikmatan-kenikmatan dunia. Tetapi yang beliau harapkan adalah agar Allah menjadikan mereka sebagai umat yang tunduk patuh pada-Nya, mengutus rasul pada mereka sehingga tidak tersesat dalam kegelapan, menjauhkan mereka dari dosa terbesar yang membinasakan (syirik).
Demikianlah wahai para pendidik!
Tujuan kita adalah tujuan yang mulia!
Mengajak generasi meniti jalan yang lurus untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan kita bukan sekedar berapa nilai matematika anak kita, bagaimana kemampuan bahasa inggrisnya, dapat rangking berapa, bisa masuk universitas mana, bisa kerja dimana, bisa belikan kita mobil berapa, atau bisa jadi pejabat tidak.
Tidak sependek itu!
Tidak sekedar anak kita bisa menyelesaikan ujian akhir semester dengan sukses dan melupakan yang lain padahal ada ujian yang menanti yang jauh lebih besar ketika kita ditanya siapa Robbmu, apa agamamu, dan siapa nabimu.
Maka seharusnya kita segera mempersiapkan diri.
Mendidik diri-diri kita dan keluarga untuk kembali pada dien ini.
Menempuh jalan yang lurus meski jalan itu terasa asing karena sedikitnya pengikut.
Kembali pada al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman salafush sholih.
Terangkatnya kemuliaan umat ini adalah dengan kembali pada dien yang lurus. Bukan dengan harta atau kekuasaan.
Seandainya mulia itu dengan kekuasaan, tentu Fira’un termasuk ke dalam orang-orang yang mulia.
Seandainya mulia itu dengan harta, tentu Qorun lebih mulia dari kita.
Kita jadi sadar bahwa ternyata memang masih sedikit yang benar-benar memperhatikan pendidikan generasi ini.
Duhai pendidik sejati! Kemana harus dicari?
Wallahu a’lam
***

Bingkisan Paling Berharga Untuk si Kecil Adalah Aqidah

Penulis: Ummu Ayyub
Dimurojaah oleh: Ustadz Subhan Khadafi

Fase kanak-kanak merupakan tempat yang subur bagi pembinaan dan pendidikan. Masa kanak-kanak ini cukup lama, dimana seorang pendidik bisa memanfaatkan waktu yang cukup untuk menanamkan dalam jiwa anak, apa yang dia kehendaki. Jika masa kanak-kanak ini dibangun dengan penjagaan, bimbingan dan arahan yang baik, dengan izin Allah subhanahu wata’ala maka kelak akan tumbuh menjadi kokoh. Seorang pendidik hendaknya memanfaatkan masa ini sebaik-baiknya. Jangan ada yang meremehkan bahwa anak itu kecil.
Mengingat masa ini adalah masa emas bagi pertumbuhan, maka hendaknya masalah penanaman aqidah menjadi perhatian pokok bagi setiap orang tua yang peduli dengan nasib anaknya.
Penanaman Aqidah
Aqidah islamiyah dengan enam pokok keimanan, yaitu beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, serta beriman pada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk, mempunyai keunikan bahwa kesemuanya merupakan perkara gaib. Seseorang akan merasa hal ini terlalu rumit untuk dijelaskan pada anak kecil yang mana kemampuan berfikir mereka masih sangat sederhana dan terbatas untuk mengenali hal-hal yang abstrak.
Sebenarnya setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala di atas fitrah keimanan.
Allah berfirman dalam QS. Al Α’rof: 172 yang artinya,
“Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).’”
Adalah bagian dari karunia Allah subhanahu wata’ala pada hati manusia bahwa Dia melapangkan hati untuk menerima iman di awal pertumbuhannya tanpa perlu kepada argumentasi dan bukti yang nyata. Dengan demikian, menanamkan keyakinan bukan dengan mengajarkan ketrampilan berdebat dan berargumentasi, akan tetapi caranya adalah menyibukkan diri dengan al Quran dan tafsirnya, hadits dan maknanya serta sibuk dengan ibadah-ibadah. Kita perlu membuat suasana lingkungan yang mendukung, memberi teladan pada anak, banyak berdoa untuk anak, dan hendaknya kita tidak melewatkan kejadian sehari-hari melainkan kita menjadikannya sebagai sarana penanaman pendidikan baik itu pendidikan aqidah maupun pendidikan lainnya.
Teladan Kita
Jika kita perhatikan para rasul dan nabi, mereka selalu memberikan perhatian yang besar terhadap keselamatan aqidah putera-putera mereka. Perhatian nabi Ibrahim, diantaranya adalah sebagaimana terdapat dalam firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam.” (QS. Al Baqoroh: 132)
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Demikian juga Lukman mempunyai perhatian yang besar pada puteranya sebagaimana wasiatnya yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“(Luqman berkata): Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16)
“Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Sejak Masih Kecil
Perhatian terhadap masalah aqidah hendaknya diberikan sejak anak masih kecil. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam memberikan perhatian kepada anak-anak meski mereka masih kecil. Beliau membuka jalan dalam membina generasi muda, termasuk diantaranya Ali bin Abi Thalib yang beriman kepada seruan nabi ketika usianya kurang dari sepuluh tahun. Begitu juga dalam menjenguk anak-anak yang sakit pun beliau memanfaatkan untuk menyeru mereka kepada Islam yang ketika itu di hadapan kedua orang tua mereka.
Kita juga bisa melihat bagaimana Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengajarkan permasalahan aqidah pada Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhu yang pada saat itu dia masih kecil. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda, sesungguhnya aku mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Ia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan kemanfaatan kepadamu mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan kemudharatan itu terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”
Jika para teladan kita begitu perhatian dengan anak-anak sejak mereka masih kecil, maka sangat mengherankan jika kita membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan kita biarkan begitu saja terdidik oleh lingkungan dan televisi.
Masih banyak kita dapati bahwa oleh banyak orang, anak kecil dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai Al Quran dan maknanya, dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalitasnya. Terkadang dengan berdalih “Kemampuan berfikir anak kecil masih sederhana, maka tidak baik membebani mereka dengan hal-hal yang rumit dan berat. Tidak baik membebani anak di luar kesanggupan mereka.” Atau kita juga banyak mendapati ketika anak terjatuh pada kesalahan-kesalahan, mereka membiarkan begitu saja dengan berdalih “Ah… tidak apa-apa, mereka kan masih kecil.”
Dalih yang disampaikan memang tidak sepenuhnya salah, namun sayangnya tidak diletakkan pada tempatnya. Wallahu a’lam.
Maroji’: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Tilf (terj. Mendidik Anak Bersama Nabi)
***

Akhlaq Untuk Buah Hati

Penyusun: Ummu Aufa

Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi, Lc.
Anak adalah buah hati setiap orang tua, dambaan disetiap keinginan orang tua serta penyejuk hati bagi keletihan jiwa orang tua. Anak tidak lahir begitu saja, anak terlahir dari buah cinta sepasang hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan amanat wajib untuk dijaga, diasuh dan dirawat dengan baik oleh orangtua.

Karena setiap amanat akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana hadist sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Umar yang berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga dan akan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan dimintai tanggungjawabnya serta pembantu adalah penanggungjawab atas harta benda majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pertanggung jawaban orang tua tersebut baik di dunia ataupun di akherat, namun tatkala anak sudah baligh maka mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Salah satu contoh dari pertanggung jawaban tersebut adalah dengan memelihara diri dan keluarga dari api neraka:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Dan hal ini dapat diwujudkan dengan memberi pendidikan kepada anak dengan pendidikan yang baik sesuai Al Qur’an dan As sunnah sebagai bekal perjalanan di dunia maupun di akherat. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, “Didiklah anakmu karena kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu.”
Pendidikan tersebut banyak cabangnya satu diantaranya adalah pendidikan akhlak, akhlak anak yang baik dapat menyenangkan hati orang lain baik orangtua atau orang-orang di lingkungan. Bahkan akhlak yang sesederhana sekalipun misalnya memberikan wajah berseri saat bertemu dengan saudara muslim yang lain.
Disamping ikhtiar dengan pendidikan akhlak yang bagus hendaknya orangtua selalu mendo’akan anak-anaknya agar mereka tumbuh dengan naungan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pula. Karena doa orangtua atas anaknya termasuk doa yang mustajab.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orangtua atas anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dihasankan oleh syaikh Al Albani dalam Shohih dan Dho’if Sunan Abu Daud hadist no. 1536)
Sebagaimana para nabi dan rosul dahulu yang selalu berdo’a kepada Allah untuk kebaikan anak cucu mereka.
Do’a Nabi Zakaria ‘alaihissalam sebagaimana firman Allah:
“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38)
Doa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimussalam: “Ya Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anakcucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. Al Baqoroh: 128)
Sungguh islam adalah agama yang sempurna hingga pendidikan anakpun diperhatikan dengan serius. Namun sangat disayangkan orangtua zaman sekarang jarang memperhatikan pendidikan akhlak bagi buah hatinya lantaran kesibukan mereka atau kejahilan (ketidakmengertian) mereka. Prinsip yang mereka pegang adalah Membahagiakan anak. Namun kebahagiaan yang semacam apa yang ingin diwujudkan oleh sebagian para orangtua tersebut?! Ada yang berpendapat bahagia tatkala anaknya bisa mendapatkan sekolah yang favorit dan menjadi bintang kelas, orang yang berpendapat seperti ini maka akan menggebu-gebu untuk mencarikan tempat les dimana-mana, hingga lupa menyisakan waktu untuk mengenalkan islam kepadanya. Adalagi pendapat bahwa kebahagiaan adalah tatkala si anak tidak kekurangan apapun didunia, orangtua tipe ini akan berambisi untuk mencari materi dan materi untuk memuaskan si anak tanpa disertai pendidikan akhlak bagaimana cara mengatur serta memanfaatkan harta yang baik. Dan ada pula sebagian yang lain bahwa kebahagiaan adalah buah dari keimanan kepada Allah dengan bentuk ketenangan dalam hati; bersabar tatkala mendapat musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan nikmat. Namun jarang ditemukan orangtua yang sependapat dengan tipe ketiga ini. Kebanyakan diantara mereka sependapat dengan tipe 1 dan 2. Dan tatkala mereka tiada, mereka akan berlomba-lomba untuk mewasiatkan harta ini dan itu, padahal telah dicontohkan oleh lukman mengenai wasiat yang terbaik. Bukan sekedar harta atau perhiasan dunia melainkan sesuatu hal yang lebih berharga dari keduanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman melalui lisan lukman:
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan yang lemah yang bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKu-lah kembalimu, maka kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Lukman berkata), ‘Hai anakku sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau dilangit atau didalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjaln dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.’” (QS. Luqman: 13-19)
Tatkala anak tumbuh menjadi anak pembangkang, suka membantah kepada orangtua bahkan durhaka kepada orangtua, banyak diantara orangtua yang menyalahkan si anak, salah bergaullah, tidak bermorallah atau alasan-alasan yang lain. Bukan… bukan lantaran karena anak salah bergaul saja, si anak menjadi seperti itu namun hendaknya orangtua mawas diri terhadap pendidikan akhlak si anak. Sudahkah dibina sejak kecil? Sudahkah dia diajari untuk memilih lingkungan yang baik? Sudahkah dia tahu cara berbakti kepada orangtua? Atau sudahkah si anak tahu bagaimana beretika dalam kehidupan sehari-hari dari bangun tidur hingga tidur kembali? Jika jawabannya belum, maka pantaslah jika orangtua menuai dari buah yang telah mereka tanam sendiri. Seperti perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah,
“Hendaknya anak dijauhkan dari berlebihan dalam makanan, berbicara, tidur dan berbaur dengan perbuatan dosa, sebab kerugian akan didapat dari hal-hal itu dan menjadi penyebab hilangnya kebaikan dunia dan akhirat. Anak harus dijauhkan dari bahaya syahwat perut dan kemaluan sebab jika anak sudah dipengaruhi oleh kotoran syahwat maka akan rusak dan hancur. Berapa anak tercinta menjadi rusak akibat keteledoran dalam pendidikan dan pembinaan bahkan orangtua membantu mereka terjerat dalam syahwat dengan anggapan hal itu sebagai ungkapan perhatian dan rasa kasih sayang kepada anak padahal sejatinya telah menghinakan dan membinasakan anak sehingga orangtua tidak mengambil manfaat daria anak dan tidak meraih keuntungan dari anak baik didunia maupun diakhirat. Apabila engkau perhatikan dengan seksama maka kebanyakan anak rusak berpangkal dari orangtua.”
Mungkin saat si anak masih kecil belum akan terasa dampak dari arti pentingnya akhlak bagi orangtua namun saat dewasa kelak maka akan sangat terasa bahkan sangat menyakitkan bagi kedua orangtua. Dan perlu ditekankan bahwa akhlak yang baik dari seorang anak adalah harta yang lebih berharga daripada sekedar harta yang kini sedang para orangtua obsesikan.
Sebelum terlambat mulailah saat ini menanamkan akhlak tersebut, dari hal yang sederhana:
1. Dengan memberi contoh mengucapkan salam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Dan maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu jika kalian mengerjakannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkan salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
2. Memperhatikan etika dalam makan.
Dari umar bin Abu Salamah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadaku,
“Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari makanan yang paling dekat denganmu.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Mengajarkan rasa kebersamaan dengan saudara muslim yang lain, misalnya dengan menjenguk orang sakit.
Dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangan dan mendoakan orang yang bersin.” (Muttafaqun ‘alaihi)
4. Mengajarkan kejujuran.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Peganglah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan menunjukan kepada surga. Seseorang selalu jujur dan memelihara kejujuran hingga tercatat di sisi Allah termasuk orang yang jujur. Dan hindarilah dusta karena kedustaan menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang selalu berdusta dan terbiasa berbuat dusta hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim)
Akhlak yang baik dari seorang anak akan melahirkan generasi yang baik pula, generasi pemuda yang taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orangtua dan memperhatikan hak-hak bagi saudara muslim yang lain. Wallohu a’lam bishowab.
Maraji’:
Begini Seharusnya Mendidik Anak -Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa-, karya Al Maghribi bin As Said Al Maghribi
***

Pembinaan Aqidah Untuk Buah Hati

Aqidah Islamiyah dengan enam pokok keimanan, yaitu beriman kepada Allah ‘azza wa jalla, para malaikatnya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun buruk, mempunyai keunikan bahwa kesemuanya itu merupakan perkara yang ghaib.
Seseorang akan menghadapi kebingungan bagaimana ia mesti menyampaikannya kepada anak dan bagaimana pula anak bisa berinteraksi dengan itu semua ? bagaimana cara menjelasakan dan memaparkannya? Di hadapan pertanyaan ini atau pertanyaan sejenis lainnya, kedua orangtua bisa kelabakan dan mencari tahu bagaimana caranya. Akan tetapi melalui penelaahan terhadap cara Nabi shalallahu’alaihi wassalam dalam bergaul dengan anak-anak, kita temukan ada lima pilar mendasar di dalam menananmkan aqidah ini.
1. Pendiktean kalimat tauhid kepada anak.
2. Mencintai Allah dan merasa diawasi oleh-Nya, memohon pertolongan kepadaNya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar.
3. Mencintai Nabi dan keluarga beliau.
4. Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak.
5. Menanamkan aqidah yang kuat dan kerelaan berkorban karenanya.
Pendiktean kalimat tauhid kepada anak
Dari ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Ajarkan kalimat laailaha illallah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama dan tuntunkanlah mereka mengucapkan kalimat laa ilaha illallah ketika menjelang mati.” (HR. Hakim)
Abdurrazaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai untuk mengajarkan kepada nak-anak mereka kalimat laa ilaha illallah sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali, sehingga kalimat ini menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.
Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”
Oleh karena itu, wasiat Nabi shalallahu’alaihi wassalam kepada Mu’adz radhiyallahu’anhu sebagimanan yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Bukhari dalam Adabul Mufrad, adalah, “Nafkahkanlah keluargamu sesuai dengan kemampuanmu. Janganlah kamu angkat tongkatmu di hadapan mereka dan tanamkanlah kepada mereka rasa takut kepada Allah.”
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sejak pertama kali mendapatkan risalah tidak pernah mengecualikan anak-anak dari target dakwah beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Ab Thalib yang ketika itu usianya belum genap sepuluh tahun. Beliu shalallahu’alaihi wassalam mengajaknya untuk beriman, yang akhirnya ajakan itu dipenuhinya. Ali bahkan menemani beliau dalam melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekkah sehingga tidak diketahui oleh keluarga dan ayahnya sekalipun.
Orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan budak yang dimerdekakan adalah Zaid bin Haritsah. Di bawa oleh paman Khadijah, yaitu Hakim bin Hizam dari Syam sebagai tawanan, lalu ia diambil sebagai pembantu oleh Khadijah. Rasulullah kemudian memintanya dari Khadijah lalu memerdekakannya dan mengadopsinya sebagai anak dan mendidiknya ditengah-tengah mereka.
Demikianlah Rasulullah memulai dakwah beliau yang baru dalam menegakkan masyarakat Islam yang baru dengan memfokuskan perhatian terhadap anak-anak dengan cara memberikan proteksi dengan menyeru dan dengan mendo’akan sehingga akhirnya si anak ini (Ali bin Abi Thalib) kelak memperoleh kemuliaan sebagai tameng Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dengan tidur di rumah beliau pada malam hijrah ke Madinah.
Ini merupakan buah pendidikan yang ditanamkan nabi kepada anak-anak yang sedang tumbuh berkembang agar menjadi pemimpin-pemimpin dimasa depan dan menjadi pendiri masyarakat Islam yang baru.
***
Diambil dari : Mendidik Anak Bersama Nabi, Muhammad Suwaid, Pustaka Arafah.

Anak Tidak Percaya Diri

Banyak diantara anak-anak kita atau bahkan diri kita sendiri tertimpa rasa tidak percaya diri. Rasa tidak percaya diri yang berlebihan dapat menghambat perkembangan seseorang. Jadi perasaan ini harus kita antisipasi sedini mungkin pada diri anak kita agar mereka bisa berkembang menjadi pribadi yang mandiri. Rasa tidak percaya diri pada anak biasa ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut :
  1. Susah berbicara, gagap, dan gagu.
  2. Menutup diri, adanya rasa malu, dan tidak berani.
  3. Ketidakmampuan berfikir secara mandiri.
  4. Merasakan ada kejahatan dan bahaya serta bertambahnya rasa ketakutan dan kekhawatiran.
Adapun yang menjadi sebab tidak percaya diri pada anak biasanya adalah sebagai berikut :
  1. Cara mendidik yang salah dan berdasar pada ancaman, kekerasan, dan pemukulan setiap kali anak berbuat kesalahan atau main-main sesuatu.
  2. Sering disalahkan, dipukul, diancam, dicela, dan direndahkan.
  3. Orang tua terlalu membatasi setiap perilaku anak dan cara berfikirnya.
  4. Selalu dibandingkan dengan anak yang lain untuk memberinya motivasi, terkadang justru memberikan pengaruh yang sebaliknya.
  5. Meremehkan kemampuan dan harga dirinya serta melemahkan minatnya.
  6. Bentuk badan yang kecil, tubuhnya yang cacat, seperti pincang, buntung, dan sebagainya.
  7. Rendah IQ dan keterlambatan dalam belajar.
  8. Selalu mencelanya ketika ia mengalami kegagalan.
  9. Banyaknya pertengkaran antara kedua orangtuanya.
  10. Dibebani pekerjaan yang diluar kemampuannya. Dan bakatnya sehingga ia tidak mampu dan gagal.
Sedangkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan atau mengurangi rasa tidak percaya diri adalah sebagai berikut :
  1. Menunjukkan rasa kasih sayang, khususnya dari kedua orang tua.
  2. Membiarkan anak memilih sendiri makannya, minumnya, dan permainannya. Sebaiknya orang tua tidak terlalu mengatur dalam hal-hal yang memang terdapat kelapangan dalam syari’at. Adapun dalam hal yang disyari’atkan (misal: makan dengan tangan kanan) maka sebaiknya orang tua mengarahkan sejak dini.
  3. Memotivasi anak dan meningkatkan kemampuannya serta memujinya dengan kebaikannya.
  4. Ketika dibandingkan dengan anak lain, hendaknya disebutkan pula kebaikannya disamping anak yang dibandingkan dengannya serta menyebutkan kemampuan keduanya, kemudian menyuruh untuk berbuat sebagaimana yang telah dilakukan yang lain agar menjadi lebih baik darinya.
  5. Orang tua hendaknya tidak saling mengoreksi di hadapan anak-anak, tidak saling mencela, atau berselisih di hadapan mereka.
  6. Menyebutkan namanya pada pertemuan-pertemuan, memujinya secara proporsional didepan orang-orang dewasa dan tidak menyebutkan kekurangannya di hadapan mereka maupun anak-anak kecil.
  7. Menggunakan kisah/cerita dan permainan untuk menyembuhkan penyakit tidak percaya dirinya.
  8. Teladan dari kedua orang tua dalam hal percaya diri dan tidak bimbang.
  9. Membawanya dalam kumpulan orang-orang dewasa, dan membuatnya mau berbicara tentang kemampuannya dalam membaca al-Qur’an, hadits, cerita-cerita, dan lain-lain. Jangan lupa untuk mengingatkan bahwa semua itu adalah nikmat dari Allah semata.
  10. Menyuruhnya membeli beberapa keperluan dari toko dan memberinya tanggung jawab yang ringan sesuai kemampuannya.
  11. Mendengarkan dengan baik ketika anak berbicara dan tidak meremehkannya.
  12. Menemaninya dalam menyelesaikan permasalahannya yang kecil dan dalam memilih kebutuhan pribadinya, seperti memilih mainan, pakaian, dan lain sebagainya.
  13. Membiasakannya berpuasa meski hanya beberapa jam saja, dan memujinya apabila ia melakukannya.
  14. Mencontoh masa kecil Rasulullah shalallahu’alaihi wasslam dan mengajarkannya tentang masa kecil Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
  15. Memperdalam kepercayaan tentang takdir dalam hatinya dan menghubungkan segala sesuatu dengan Allah ‘azza wa jalla.
***
Diambil dari: Metode Pendidikan Anak Muslim Usia Prasekolah, Abu Amr Ahmad Sulaiman, Darul Haq dengan sedikit perubahan

Tips Sederhana Mengajarkan Al Quran Pada Anak (Metode Talkin)

Telah kita ketahui betapa besar pahala mengajarkan Al-Quran, sebagaimana hadits berikut:
عن عثمان بن عفّان رضي الله عنه عنِ النبيِّ صلى الله عليه و سلّم قال : خيركم من تعلّم القرآن و علّمه
Dari ‘Utsman radhiyallahu’anhu,  dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari no.5027)
Dalam hadits ini tidak ada pembatasan usia tentang usia berapa kita belajar dan  siapakah orang yang kita ajari. Maka kita mengajarkan Al Quran kepada anak juga termasuk kedalam cakupan hadits ini. Namun demikian, tidak semua wanita dapat mengajarkan Al Quran kepada anak (baik anak kandung atau selainnya) dengan baik.
Mengingat begitu besarnya keutamaan mengajarkan Al Quran, saya ingin berbagi tips kepada para pembaca sekalian yang saya ambil dari buku Kurikulum Pendidikan Anak Muslim yang ditulis oleh Syaikh Fuhaim Musthafa.
  • Sebelum pengajar mulai membacakan surat, ia harus mengingatkan anak agar memusatkan perhatiannya terhadap apa yang akan dibacakan. Yang demikian itu supaya hal-hal berikut dapat terwujud:
    - Anak menyimak bacaan pengajar sehingga bisa menirukan setiap harakat huruf, ketika berhenti saat waqaf pada tempat –tempat berhenti serta cara mengucapkan huruf per huruf secara benar.
    - Hati anak menjadi khusyu’, tenang, dan menghormati bacaan Al Quran saat mendengarkannya.Melatih anak membaca Al-Quran langsung dari mushaf. Di samping itu juga memperkenalkan kepadanya tanda-tanda waqaf dan istilah-istilah untuk memperbaiki bacaan pada setiap ayat seperti, mad, idgham, sukun, menebalkan huruf qalqalah, memperjelas makhraj (tempat keluarnya) setiap huruf, hamzah washal, hamzah qatha’   dan lain sebagainya.
  • Sebelum pengajar membacakan surat, ia memulai dengan pembicaraan ringan yang menjadikan anak semangat mempelajari surat tersebut dan memahami maknanya.
  • Memperdengarkan bacaan Al Quran pada pendengaran anak dengan bacaan yang khusyu’ lebih dari satu kali.
  • Anak diminta membaca surat itu sepenggal –penggal secara bersama-sama lebih dari satu kali
  • Sementara itu sang pengajar membenarkan kesalahan-kesalahan yang terjadi pada anak saat membaca Al Quran.
  • Pengajar menyuruh beberapa anak mengulangi surat yang sudah dibacakan secara bersamaan. Kemudian menyuruh beberapa anak yang lain dan seterusnya.
  • Setelah itu pengajar menyuruh anak satu per satu membaca Al Quran, pengajar menyuruh salah seorang anak untuk membaca Al Quran  setelah ia memberi contoh bacaannya. Kemudian meminta anak lainnya melakukan hal serupa, dan seterusnya.
  • Pengajar hendaknya mendiskusikan makna surat kepada anak  dengan memberikan pertanyaan ringan. Hingga pengajar benar-benar mengetahui bahwa seluruh anak sudah memahami makna surat dengan baik.
  •  Pengajar Al-Quran harus menanamkan dalam jiwa anak bahwa mempelajari Al-Quran adalah ibadah. Allah ta’ala memberikan pahala yang sangat besar.
  • Pengajar harus mempunyai target pada pertemuan itu anak harus mengulangi ayat-ayat yang diajarkan dengan membacanya berkali-kali.
  • Harus diperhatikan oleh pengajar yaitu membenarkan bacaan anak supaya jangan sampai salah sedikitpun. Karena yang sedikit itu akan dibawa sampai dewasa jika tidak dibetulkan.
  • Menjadi catatan untuk pengajar bahwa anak difahamkan dengan makna ayat-ayat yang dia pelajari dengan pemahaman sederhana, sesuai tingkatan akalnya.
Dalam mengajar tentu saja pasti ada hambatan-hambatan, maka hendaklah selalu berdo’a kepada Allah supaya diberi kesabaran dan keteguhan niat. Karena terkadang dikarenakan hambatan-hambatan yang ada, seorang pengajar menjadi putus asa.

Ketika Anak-Anak Menanyakan Makna Ayat Al Qur’an

Soal:
Alhamdulillah, saya muslimah yang selalu membacakan Al Qur’an yang saya hafal kepada anak-anak saya, yaitu surat-surat dalam Juz ‘Amma, sebelum mereka tidur. Dan terkadang mereka menanyakan saya beberapa tafsir ayat dan walhamdulillah saya jawab sebisa saya. Namun jawaban saya itu biasanya saya jawab setelah beberapa waktu kemudian, dan merupakan jawaban yang terbesit sesuai apa yang Allah datangkan pada benak saya.
Bagaimana cara agar jawaban-jawaban saya itu sesuai dengan tingkat pemahaman mereka, mengingat umur mereka baru enam atau tujuh tahun? Lakum jaziilusy syukri…
Jawab:
Apa yang anda lakukan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur’an Al Karim kepada anak-anak anda, ini adalah perbuatan ketaatan kepada Allah Ta’ala yang besar keutamaannya dan besar pula pahalanya.
Adapun memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka seputar tafsir dan makna-makna ayat Al Qur’an, ini tidak mengapa selama jawaban tersebut berdasarkan pada penjelasan dalam kitab-kitab tafsir Al Qur’an yang terpercaya, atau dari penjelasan para ulama ahli tafsir.
Sedangkan jika anda menafsirkan atau mengartikan makna-makna ayat sesuai dengan opini dan ijtihad anda, maka ini adalah perkara yang berbahaya. Tidak boleh anda mengambil cara yang demikian. Karena ini bisa termasuk dalam perbuatan berkata tentang Allah tanpa ilmu, dan termasuk perbuatan menafsirkan Al Qur’an dengan sebatas opini tanpa dalil. Silakan merujuk pada fatwa nomor 21250 dan 80948 mengenai hal ini.
Jika anda memiliki jawaban yang shahih atas pertanyaan mereka tentang Allah, kemudian anda menjawab dengan jawaban yang sesuai tingkat pemahaman mereka, maka ini adalah hal yang bagus dan memang dituntut untuk demikian. Telah kami jelaskan rincian masalah ini pada fatwa nomor 52377, 22279, dan 1360.
Dan hendaknya juga, anda mengajarkan mereka dzikir-dzikir sebelum tidur, sehingga mereka bisa mengulang bacaannya sendiri. Mengenai dzikir-dzikir ini sudah kami jelaskan dalam fatwa nomor 4514.
Wallahu’alam



Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=96364

Tuntunan agar Si Kecil Pandai Berinteraksi Sosial

Si kecil si buah hati hadir di tengah kita. Dari alam kesendirian ia datang ke dunia, untuk hidup dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kita pasti mengharapkan buah hati kita bisa hidup dalam tatanan masyarakat secara serasi dan seimbang, pandai berhubungan dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, jauh dari sikap individualistis dan mengasingkan diri dari pergaulan.
Agar si kecil pandai berinteraksi sosial, mari kita melihat petunjuk dan wejangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta contoh dan teladan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, yang mengajarkan kepada kita cara mendidik anak dalam bergaul di masyarakat.
1. Membawa anak menghadiri majelis orang dewasa
Di antara kebiasaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum: seorang ayah membawa anaknya ke majelis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu ‘anhu menghadiri majelis Rasulullah bersama anaknya, Abdullah.
أَخْبِرُونِى بِشَجَرَةٍ مَثَلُهَا كمَثَلُ الْمُسْلِمِ، تُؤْتِى أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ، بِإِذْنِ رَبِّهَا، وَلا تَحُتُّ وَرَقَهَا. (قال ابن عمر) فَوَقَعَ فِى نَفْسِى أَنَّهَا النَّخْلَةُ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ وَثَمَّ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
Ibnu umar berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pohon apa yang perumpamaannya seperti seorang muslim; memberi manfaat kepada orang lain dan tidak gugur daun-daunnya?’” Ibnu Umar berkata, “Terbersit di hatiku bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Tapi aku tidak senang berbicara mendahului Abu Bakar dan Umar.” (HR. Bukhari, no. 148)
Dengan membawa si kecil ke majelis orang tua, akan tampak kekurangan dan kebutuhan kita dalam mentarbiyah anak. Ini menjadi motivasi bagi orang tua untuk lebih meningkatkan usahanya dalam mencapai kesempurnaan.
Dengan hadirnya mereka di majelis, kita mendorong mereka ikut menjawab pertanyaan yang diberikan di majelis. Anak akan belajar cara berbicara setelah diizinkan dengan tenang dan penuh adab. Dengan demikian, pikirannya akan berkembang dan jiwanya pun beradab. Mereka belajar tentang pembicaraan orang dewasa sedikit demi sedikit, sampai akhirnya siap terjun ke masyarakat.
2. Menyuruhnya untuk suatu keperluan
Seorang anak yang kita beri kepercayaan untuk mengerjakan sesuatu akan merasa senang karena dihargai. Selain itu, rasa percaya dirinya akan tumbuh sejak kecil. Ia akan berkenalan dengan hal-hal yang semula tidak diketahuinya. Alhasil, pada masa mendatang ia sanggup melakukan tugas tersebut karena sudah mempunyai pengalaman sebelumnya semasa kecil.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari saya membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sampai pekerjaan itu selesai. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidur sebentar, sehingga saya keluar ke tempat anak anak yang sedang bermain. Saya mendatangi mereka untuk melihat permainan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan memberi salam kepada anak-anak yang bermain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku dan mengutusku untuk suatu keperluan. Saya melaksanakan perintahnya.” (HR. Ahmad, no. 13022)
Contoh perintah yang bisa kita jadikan ajang latihan bagi anak adalah meletakkan makanan di meja. Hal ini agar mereka ikut berpartisipasi membantu orang tuanya dalam bekerja. Tugas-tugas yang kita berikan tidak akan pernah dilupakan si kecil dan dia akan bercerita tentangnya ketika mereka besar kelak.
Dengannya, mereka akan tumbuh menjadi sosok yang amanah dan peduli dengan orang lain. Apalagi jika mereka berhasil melaksanakan tugas dengan baik, kita memujinya sebagai bentuk penghargaan kita dan kasih sayang kita kepadanya.
3. Membiasakannya mengucapkan salam
Salam adalah tahiyat, yaitu salam penghormatan di antara kaum muslimin. Anak kita senantiasa bertemu dan bergaul dengan teman-temannya dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini menuntut kita untuk mengajarkan kepada mereka kata pembuka yang harus mereka ucapkan .
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan cara yang lembut dalam mengajarkan sunnah salam kepada anak-anak. Caranya, kita terlebih dulu yang memberikan salam kepada mereka sampai mereka terbiasa mendengarnya. Selanjutnya, mereka yang akan memulai duluan.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melewati anak-anak. Dia mengucapkan salam kepada mereka. Dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari, no. 17)
Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Ucapan salam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak menunjukkan ketawadhuan, akhlak yang agung, dan sifat beliau yang mulia. Hal tersebut juga merupakan pembiasaan terhadap sunnah dan melatih anak-anak dengan adab yang mulia, sehingga jika mereka baligh nanti akan mereka akan beradab dengan adab Islam.” (Syarah Shahih Al-Bukhari, 9:27)

4. Memilihkan teman pergaulan yang baik baginya

Sudah menjadi fitrah manusia hidup bercampur dengan manusia yang lain dan saling membutuhkan satu sama lain. Begitu pula halnya dengan seorang anak; ia butuh teman yang dekat dengannya, teman bermain, teman belajar, atau teman untuk melewati lika-liku masa kecil bersama.
Orang tua yang cerdik akan memilih teman terbaik buat anaknya, karena hakikatnya ia telah membuka pintu tarbiyah dalam memperbaiki anaknya. Seorang teman yang shalih akan membantu anaknya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengajarkannya akhlak mulia.
Mari kita lihat kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bemain bersama teman-temannya semasa kecilnya, dan beliau melewati anak-anak yang sedang bermain sementara beliau adalah seorang rasul utusan Allah. Beliau mengucapkan salam kepada mereka, lembut kepada mereka, dan melihat mereka bermain bersama-sama, namun tidak mengusir dan tidak melarang mereka. Semua ini menunjukkan semangat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar seorang anak hidup bermasyarakat bersama anak lain serta menjauhi sikap individualistis.
5. Membawanya ke acara-acara yang tidak melanggar syariat
Di acara pesta akan berkumpul banyak orang, anak-anak akan berkumpul dan saling berkenalan. Mereka akan menyaksikan orang tua dan anak-anak bergembira bersama, mendengarkan pembicaraan mereka, dan menyaksikan acara pesta yang indah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat hadirnya anak-anak di acara pernikahan. Beliau membolehkannya serta menyambut kedatangan mereka, dan tidak mengingkarinya. Beliau mendoakan kebaikan untuk seluruh orang yang hadir, termasuk juga untuk anak-anak.
6. Bermalam di rumah kerabat yang shalih
Ketika anak keluar dari rumahnya menuju rumah sepupu atau paman atau kakeknya – yang merupakan keluarga islami – maka itu merupakan bentuk latihan bagi sang anak dalam bergaul dengan keluarga yang lain selain ibu, bapak, dan saudaranya. Mereka akan mengambil faedah dari keshalihan kerabatnya itu, berupa ilmu, ketakwaan, dan ibadah.
Hal ini akan menambah rasa cinta dengan keluarga serta membawa pengaruh yang baik jika si anak besar nanti. Anak tersebut akan mengingat masa bermalamnya bersama sang sepupu atau bersama sang kakek, dan ia diajak untuk beribadah bersama mereka.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bermalam di rumah bibiku, Maimunah binti Al-Harits, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari, no. 53)
Dalam riwayat ini, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada para anak untuk bersemangat bemalam di rumah kerabatnya yang shalih serta mengambil faedah dari mereka. Wallahu a’lam.
Maraji’:
  • Syarah Shahih Al-Bukhari, Imam Ibnu Baththal.
  • At-Tarbiyah Nabawiyah lit Thifl, Muhammad bin Nur bin Abdul Hafizh.
***
 
Copyright © 2013. 'Azolla' Fish Farm - All Rights Reserved
Template Created by ThemeXpose