Games

Showing posts with label religi. Show all posts
Showing posts with label religi. Show all posts

Tinggalkan Suap-menyuap Pintu Rezeki Kan Terbuka !





Ada seorang kawan bercerita tentang seorang pedagang di Saudi Arabia. Pada awal dia meniti karir dalam bisnis, dulunya dia bekerja di sebuah pelabuhan di negeri ini. Semua barang-barang perniagaan yang akan masuk harus melalui dia dan mendapatkan tanda tangannya. Dia tidak suka kepada orang yang main kolusi dan suap-menyuap. Tetapi dia tahu bahwa atasannya senang mengambil uang suap. Sampai akhirnya teman kita yang satu ini didatangi oleh orang yang memberitahunya agar tidak terlalu keras dan mau menerima apa yang diberikan oleh penyuap untuk mempermudah urusannya.

Setelah mendengar perkataan tersebut, dia gemetar dan merasa takut. Ia lalu keluar dari kantornya, sementara ke-sedihan, penyesalan dan keraguan terasa mencekik lehernya. Hari-hari mulai berjalan lagi, dan para penyuap itu datang kepadanya. Yang ini mengatakan, ‘Ini adalah hadiah dari perusahaan kami’. Yang satu lagi bilang, ‘Barang ini adalah tanda terima kasih perusahaan kami atas jerih payah Anda’. Dan dia selalu mampu mengembalikan dan menolak semuanya. Tetapi sampai kapan kondisi ini akan tetap ber-langsung?!

Dia khawatir suatu waktu mentalnya akan melemah dan akhirnya mau menerima harta haram tersebut. Dia berada di antara dua pilihan; meninggalkan jabatannya dan gajinya atau dia harus melanggar hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mau menerima suap. Karena hatinya masih bersih dan masih bisa meresapi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dia berkata, ‘Tak lama setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan untukku kapal kargo yang kecil. Aku pun memulai bisnisku, mengangkut barang-barang. Lalu Allah mengaruniakan kapal kargo lain lagi. Sebagian pedagang mulai memintaku untuk mengangkut barang-barang perniagaan mereka karena aku memang sangat hati-hati, seolah-olah barang-barang itu milikku sendiri.

Di antara kejadian yang menimpaku adalah sebuah kapal kargoku menabrak karang dan pecah. Penyebabnya, karena sang nahkoda tertidur. Dia meminta maaf. Tanpa keberatan aku memaafkannya. Maka merasa heranlah seorang polisi lalu lintas laut karena aku begitu mudah memaafkan orang. Dia berusaha berkenalan denganku. Setelah berlangsung beberapa tahun, polisi itu bertambah tinggi jabatannya. Saat itu datang barang-barang perniagaan dalam jumlah besar. Dia tidak mau orang lain, dia memilihku untuk mengangkut barang-barang tersebut tanpa tawar menawar lagi.

Pembaca yang budiman, lihatlah, bagaimana pintu-pintu rizki terbuka untuknya. Sekarang dia telah menjadi seorang saudagar besar. Kepedulian sosial dan santunannya bagi orang-orang miskin begitu besar. Begitulah, barangsiapa meninggalkan suatu maksiat termasuk tindakan suap dan menerima suap dengan ikhlas karena Allah, niscaya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5/363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Begitu pula ingatlah janji Allah bagi orang yang bertakwa yaitu akan diberi rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Dari ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, beliau menafsirkan ayat tersebut, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah maka Allah akan menyelamatkannya dari kesusahan dunia dan akhirat. Juga Allah akan beri rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14/32)

Ingat pula tentang bahaya suap sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok itu haram berdasarkan ijma› (kesepakatan ulama). Jadi terlarang, meminta suap, memberi suap, menerima suap dan menjadi penghubung antara penyaup dan yang disuap.

Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 18 Ramadhan 1432 H

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Rubrik Kisah Edisi 21/2011

Berdua Menggapai Cinta-Nya





Cinta dalam hidup berumah tangga adalah salah satu tiang terpenting untuk mewujudkan ketentraman dan ketenangan. Hal itu karena rasa cinta seseorang kepada pasangannya akan mendorong dia untuk memenuhi hak-hak yang wajib dia tunaikan kepada pasangannya. Sedangkan pemenuhan hak antar pasangan ini adalah faktor terpenting dalam menjaga keutuhan bangunan rumah tangga.

Manusia dalam mencintai pasangannya, memiliki perbedaan satu sama lain dalam landasan yang mendasari rasa cinta tersebut. Ada pasangan yang mendasari kecintaannya karena penampilan lahiriah, ada juga yang karena harta kekayaan, ada juga yang mendasarinya karena darah keturunan. Pada asalnya, hal itu adalah sah-sah saja selama tidak melebihi kadar yang seharusnya. Akan tetapi bagi seorang mukmin, ada satu landasan yang harus selalu mendasari kecintaannya kepada segala sesuatu. Landasan itu adalah kecintaan dia kepada Allah – ta’ala -.

Maksudnya, seorang mukmin ketika mencintai sesuatu yang dibolehkan, hendaknya dia tidak melebihkannya di atas kecintaan kepada Allah. Demikian pula ketika seorang mukmin mencintai seorang manusia, terutama pasangan hidupnya, hendaknya dia tidak mencintainya melainkan hanya karena Allah. Yakni, dia mencintai pasangannya karena keshalihan dan ketaatannya kepada Allah. Dan dia membenci pasangannya karena kemaksiatan dan kedurhakaannya kepada Allah.
Dari sini hendaknya pasangan suami istri yang beriman memperhatikan kecintaan mereka kepada Allah dan berusaha untuk menggapai kecintaan Allah kepada mereka.

Bagaimana menggapai cinta-Nya?

Secara umum, usaha untuk menggapai kecintaan Allah adalah dengan melakukan berbagai ibadah yang Allah – ta’ala – syariatkan. Karena ibadah itu pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Maka setiap orang yang melakukan salah satu bentuk ibadah, baik berupa ibadah hati, lisan ataupun anggota badan lahiriah, berarti dia sedang berusaha untuk mencintai Allah dan berusaha menggapai cinta-Nya.
Dan penting untuk diperhatikan bahwa dalam segala ibadah yang dilakukan hendaknya seorang mukmin berusaha melakukannya sesuai dengan yang dilakukan atau dituntunkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Tidak melakukannya dengan tata cara yang dibuat-buat, yang tidak ada tuntunannya dari beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Dengan inilah dia akan mendapatkan kecintaan Allah. Allah – ta’ala – berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Secara terperinci, Ibnul Qayyim – rahimahullah – telah menyebutkan sepuluh sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah – ta’ala -:

1. Membaca al-Qur`an dengan tadabbur dan berusaha memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunah setelah melakukan amalan-amalan yang wajib.
3. Senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala keadaan baik dengan hati, lisan, perbuatan maupun dengan keadaannya. Maka bagian yang dia peroleh dalam kecintaan sesuai dengan kadar dzikir yang dia lakukan.
4. Mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang dicintai oleh dirinya ketika hawa nafsu menguasai.
5. Pengetahuan dan persaksiannya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah – ta’ala -. Karena barangsiapa yang mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai Allah.
6. Mempersaksikan kebajikan dan kebaikan-Nya serta karunia dan nikmat-Nya yang sangat banyak baik yang lahir maupun batin. Maka ini akan mendorong kita untuk mencintai-Nya.
7. Ketundukan dan kerendahan hati secara utuh di hadapan Allah – ta’ala -.
8. Berkhulwat (menyendiri) bersama Allah di waktu turun-Nya ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, untuk bermunajat kepadanya, membaca firman-Nya, mengkonsentrasikan hati, dan beradab dengan adab-adab penghambaan di hadapan-Nya, kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat.
9. Duduk bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah dan jujur dalam kecintaannya, serta memetik buah perkataan-perkataan mereka yang baik. Dan tidak berbicara (di tengah-tengah mereka) kecuali jika ada mashlahat dan manfaatnya bagi dia dan orang lain.
10. Menjauhi segala hal yang bisa menjadi penghalang antara hati dengan Allah.

Buah menggapai cinta-Nya

Orang yang benar dan jujur dalam kecintaannya kepada Allah maka dia akan mendapatkan kecintaan Allah kepadanya dan Allah akan mengampuninya. Allah berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Dan jika seseorang telah dicintai oleh Allah, maka dia akan mendapatkan taufik dari Allah – ta’ala – dalam segala tindak-tanduknya. Sehingga penglihatan, pendengaran, tangan dan kakinya akan diarahkan kepada segala sesuatu yang Allah cintai. Jika dia meminta sesuatu kepada-Nya, Dia pasti akan memberinya. Jika dia berlindung kepada-Nya, Dia pasti akan melindunginya.

Maka seandainya sepasang suami istri telah menggapai kecintaan Allah, tidaklah mustahil jika Allah akan memberikan kemudahan kepada mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam keluarga. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, sepasang suami istri ini akan mendapatkan kecintaan dari pasangannya. Karena ketika mereka sungguh-sungguh dalam mencintai Allah, maka Allah akan menumbuhkan kecintaan di antara mereka.



Sumber: Rubrik Lentera 2, Majalah Sakinah Vol. 8 No. 11



Suami Pilihan

Layaknya bahtera berlayar mengarungi lautan, kadang terguncang ombak besar dan terpaan angin kencang. Saat itulah, sangat diperlukan keberadaan nahkoda yang handal. Nahkoda yang tenang dalam menghadapi masalah, cerdas dalam mengambil keputusan, tegas dalam menentukan kebijaksanaan, dan handal dalam menjalankan kepemimpinan. Agar bahtera dapat sampai dengan selamat sampai tujuan.


Begitu pula menjalani kehidupan rumah tangga, tentu tidak selalu harum betabur bunga indah penuh warna-warni. Kadang muncul riak-riak atau bahkan ombak yang menghadang keharmonisannya. Saat itulah diperlukan sosok suami yang tangguh dalam kepemimpinan. Figur yang menghantarkan pada keselamatan dunia dan akhirat.
Hal ini tentunya dimulai dengan usaha mencari calon suami yang shalih sebagai pemimpin keluarga. Menjadi tugas para wali dari pihak wanita untuk memilihkan teman hidup yang mempunyai kualitas agama yang baik. Sehingga hal ini akan mendukung kualitas keshalihan istri dan anak-anaknya.
Apalagi yang diharapkan seorang wanita kecuali kebahagiaan tatkala pendamping hidup yang mengiringi hari-harinya adalah lelaki shalih. Bukan hanya satu kebahagiaan yang direngkuh melainkan dua kebahagiaan. Tiada berakhir nikmat bahagia itu saat meninggalkan dunia, namun akan tetap ada ketika berpindah ke negeri akhirat. Karunia yang demikian besar tentunya. Tidak ada karunia yang melebihi mendapatkan kebahagiaan di dua negeri.
Terbersitlah tanya, hal apakah yang ada pada diri suami yang shalih sehingga bisa menyumbang besarnya kebahagiaan istri di dunia dan akhirat? Di antara hal tersebut yaitu karena baiknya pengamalan terhadap firman Allah:
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang makruf. kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [Q.S. An Nisa:19].
Ia adalah suami shalih yang bergaul dalam curahan kasih sayang, penuh perhatian dan mengalah pada perkara yang bukan maksiat. Namun, ia tetap tegas pada kesalahan istri dengan tanpa mengesampingkan hikmah dan kelemahlembutan. Demikian pula tidak lepas dari bagusnya peneladanan terhadap manusia terbaik dan termulia, Rasulullah `,. Sebagaimana yang dituntut kepada setiap muslim untuk menjadikan beliau sebagai suri teladan. Sehingga ia selalu mengambil contoh dari muamalah Rasulullah ` terhadap keluarganya, salah satunya dalam hadits beliau bahwa, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” [H.R. At Tirmidzi dishahihkanSyaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi].
Mengacu kepada ayat dan hadits tersebutlah suami yang shalih bermuamalah dengan istri dan keluarganya. Sehingga tidaklah ia akan merendahkan atau menyakiti istrinya terlebih menzalimi. Melainkan ia berusaha untuk berkata dan berperilaku berhiaskan akhlak yang baik. Ia berikan yang menjadi hak-hak istri dengan penuh penunaian, tanpa mengungkit-ungkit kebaikan yang telah dicurahkan. Ia bersabar atas perangai yang tidak disukai dari pasangannya selama tidak dalam pelanggaran syariat. Ia memaafkan kekurangan istri dalam menunaikan hak-hak suami. Ia luruskan kebengkokan istri dengan cara yang halus dan bijaksana.
Begitulah kesan eloknya pergaulan yang tercermin dari seorang suami yang shalih. Suami yang bergaul dengan penuh pengertian akan keadaan dan sifat seorang wanita. Suami yang memuliakan kedudukan dan hak istri. Sehingga, tentulah akan mengukir kebahagiaan di hati seorang istri dalam hidup bersanding bersamanya di alam dunia ini. Kebahagiaan di negeri abadi pun dapat diraih, manakala suami yang shalih menyadari perannya sebagai pemimpin dalam keluarganya. Pemimpin yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Rasulullah `, “Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya. Dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim].Suami yang melaksanakan tugasnya dalam menjaga diri dan keluarganya dari siksa neraka yang pedih.
Ia berusaha mengamalkan firman Allah dalam salah satu ayat-Nya yang mulia:
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.”  [Q.S. At Tahrim:6].

. Usaha tersebut antara lain dengan menaruh perhatian terhadap pendidikan agama melalui pengajaran ilmu dan penyampaian nasihat. Suami yang menghasung dan membantu mereka dalam melakukan amal ketaatan. Tak luput pula mencegah mereka dari berbuat kemungkaran, tidak membiarkan terjadinya kemaksiatan dalam keluarganya. Hal ini pula, sebagai salah satu wujud dari kecemburuan dan penjagaannya terhadap kehormatan istri serta mahligai rumah tangganya.
Demikianlah gambaran indah suami yang shalih, yang mencintai istri tidak hanya semata-mata cinta tabiat tapi juga cinta yang terpuji yaitu cinta karena Allah, cintanya tumbuh dari dasar ketakwaan kepada Allah, sehingga cintanya membawa manfaat baik di dunia maupun akhirat. Allahu a’lam

” Menengok Kesabaran Diri Kala Ujian dan Cobaan Menerpa”

Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi


Tak ada jalan yang tak berkelok Tak ada lautan yang tak berombak. Tak ada ladang yang tak beronak. Di mana ada kehidupan pasti di situ ada ujian dan cobaan. Demikianlah sekelumit tentang sketsa kehidupan dunia yang fana ini. Allah Subhanahu wata’ala menjadikannya sebagai medan tempaan (darul ibtila’), untuk menguji kualitas kesabaran dan penghambaan segenap hamba-Nya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi untuk menguji sejauh manakah kesabaran dan penghambaannya. Sebab, sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam kondisi sulit dan dalam hal-hal yang tidak disukai (oleh jiwa), sebagaimana pula Dia Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam hal-hal yang disukai. Kebanyakan orang siap mempersembahkan penghambaannya kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal-hal yang disukainya. Karena itu, perhatikanlah penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal yang tak disukai. Sebab, di situlah letak perbedaan yang membedakan kualitas para hamba. Kedudukan mereka di sisi Allah Subhanahu wata’ala pun sangat bergantung pada perbedaan kualitas tersebut.” (al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 5)
Ujian dan Cobaan dalam Ranah Kehidupan Beragama
Setiap muslim sejati tentu menyadari bahwa ragam ujian dan cobaan pasti menerpa kehidupannya. Tiada bimbingan ilahi dalam menghadapi ragam ujian dancobaan itu melainkan dengan bersabar atasnya meski disadari bahwa kesabaran itu sangat berat dilakukan. Namun, itulah hikmah kehidupan yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wata’ala Dzat Yang Maharahman. Dalam ranah kehidupan beragama, ada tiga jenis ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya. Bagaimana pun situasi dan kondisinya, pasti dia akan menghadapinya. Tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
1. Perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati.
2. Larangan-larangan Allah Subhanahu wata’ala (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (Lihat Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [hlm. 90—91], Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi [3/101], dan Madarijus Salikin [2/156], dll.)
Sejauh manakah kesabaran dan penghambaan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis ujian dan cobaan itu? Sudahkah kita bersabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala  dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya?
Sudahkah kita bersabar dari perbuatan maksiat dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala? Sudahkah kita bersabar atas segala musibah yang menimpa dengan ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala?
Marilah kita menengok kesabaran diri masing-masing. Semoga Allah Subhanahu wata’ala menutupi segala kekurangan kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Wallahul musta’an.
Dalam menjalani kehidupan beragama, setiap muslim tak bisa dipisahkan dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan yang bersifat majemuk baik dari sisi karakter, latar belakang keluarga dan pendidikan, maupun pemahaman agama. Di situlah seorang muslim akan diberi ujian dan cobaan oleh Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis kesabaran di atas. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الم () أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُو
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)
Ujian dan cobaan itu pun beragam bentuknya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan “Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Di antara ujian dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang tidak suka terhadap orang-orang yang istiqamah di atas jalan kebenaran. Mereka mencela, menghina, mencibir, bahkan memusuhi orang-orang yang istiqamah itu. Kondisi semacam ini bahkan telah dialami oleh para nabi terdahulu yang mulia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dariorang-orang yang berdosa. Cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (al-Furqan: 31)
Maka dari itu, siapa saja dari hamba Allah Subhanahu wata’ala , baik muslim maupun muslimah yang berupaya istiqamah, dengan meniti jejak Rasulullah n dan para sahabatnya (bermanhaj salaf) akan mengalami ujian terkait dengan keistiqamahannya itu. Tudingan sok alim, eksklusif, merasa benar sendiri, bertentangan dengan adat dan tradisi masyarakat, teroris, dan ujung-ujungnya vonis sesat, kerap kali menerpa. Semua itu Allah Subhanahu wata’ala tetapkan untuk menguji kesabaran para hamba- Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Dengan demikian, tiada jalan keselamatan dari segala ujian itu selain bersabar di atas kebenaran dengan mengedepankan sikap ilmiah, berpijak di atas hikmah, tidak mengedepankan hawa nafsu ataupun perasaan, penuh kehatihatian dalam menilai dan melangkah (ta’anni), tidak mudah bereaksi, dan tidak serampangan bertindak. Tentu saja, tidak lupa memohon pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala Penguasa alam semesta dan berkonsultasi dengan para ulama yang mulia.
Satu hal penting yang patut dicatat, patokan kebenaran bukanlah banyaknya\ jumlah pengikut atau orang yang mengerjakan sebuah amalan. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Jadi, segala sesuatu yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti segelintir orang berarti salah. Inilah patokan mereka dalam hal menilai kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar, karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ ۖ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya  Kami mendapati mayoritas mereka orangorang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
dan sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliyah, hlm. 60)
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sedikitnya pengikut suatu dakwah, tidak lazimnya cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang), atau penampilan yang berbeda dengan keumuman, bukanlah alasan untuk memvonis salah atau sesatnya sebuah dakwah, lebih-lebih manakala dakwah tersebut berpijak di atas bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Bukankah dakwah para rasul yang mulia—di awal kemunculannya— tidak umum dan tidak lazim di mata kaumnya?! Bukankah tidak sedikit dari para rasul tersebut yang dimusuhi dan ditentang dakwahnya? Sebagian mereka hanya diikuti oleh segelintir orang, bahkan sebagian lainnya tidak mempunyai pengikut! Namun, itu semua tak mengurangi nilai dakwah yang mereka emban dan tak menjadikan dakwah mereka divonis salah atau sesat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat seorang nabi yang bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi yang bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh rahimahumallah berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang berdalil dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama jumlah yang banyak. Padahal tidaklah demikian adanya. Yang semestinya adalah seseorang mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm.106)
Fenomena Syahwat dan Syubhat
Di era globalisasi modern ini, syahwat dan syubhat menjadi ujian tersendiri bagi setiap muslim yang istiqamah di atas kebenaran. Ragam ujian itu pun benar-benar membutuhkan perjuangan dan kesabaran yang sangat tinggi. Godaan syahwat demikian gencarnya menerpa iman dan jiwa seseorang. Wanita dengan berbagai model dan aksen selalu mengiringi derap langkah manusia sepanjang zaman. Penampilan yang norak dan pakaian serba minim telah merambah putri-putri kaum muslimin.
Tak hanya kawula muda, para ibu rumah tangga sekalipun tak luput darinya. Akibatnya, mental dan rasa malunya setahap demi setahap terkikis seiring dengan lajunya arus modernisasi. Tak mengherankan apabila mereka menjadi ikon utama dalam dunia iklan, baik di media cetak maupun media elektronik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741, dari Usamah bin Zaid rahimahumallah)
Betapa banyak para pemuda yang tak bisa bersabar terhadap godaan wanita. Betapa banyak para suami yang tak mampu bersabar di atas ketaatan karena godaan sang istri. Enggan untuk istiqamah karena tak disetujui oleh istri. Tak mau hadir di majelis-majelis taklim karena “takut” dengan istri. Bahkan, terkadang ia siap melakukan perbuatan maksiat; wirausaha dengan cara yang haram, mencuri, merampok, menipu, dan semisalnya demi memenuhi tuntutanistri. Dunia dan akhiratnya rusak akibat godaan wanita. Wallahul musta’an.
Di antara godaan syahwat yang juga berbahaya bagi kehidupan beragama seorang muslim adalah harta. Slogan “waktu adalah uang” menjadi prinsip hidup sebagian orang. Berpegang teguh dengan agama akan mewariskan kemiskinan dan kesengsaraan, dianggap suatu keniscayaan. Tak mengherankan apabila sebagian orang ada yang menjadikan harta sebagai tolok ukur kesuksesan dan keberhasilan. Fenomena ini sungguh telah terjadi pada diri Qarun, seorang konglomerat di masa Nabi Musa ‘Alaihissalam yang dibinasakan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Menurut Qarun, limpahan harta yang ada pada dirinya merupakan bukti kesuksesan dan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala kepadanya, sedangkan Nabi Musa q dan yang bersamanya tidak mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wata’ala karena tak sukses dari sisi harta. Maka dari itu, Allah Subhanahu wata’ala membantah persangkaan Qarun yang batil itu dengan firman-Nya Subhanahu wata’ala,
أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang jahat itu tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 78)
Ujian harta ternyata tidak hanya menerpa orang awam atau anak jalanan semata, tetapi orang berilmu pun nyaris terancam manakala orientasi hidupnya adalah dunia. Di mana ada “lahan basah” dia pun ada di sana, walaupun harus mengikuti keinginan big boss-nya yang kerap kali tak sesuai dengan syariat dan hati nuraninya. Syahdan, ketika hawa nafsu telah membelenggu fitrah sucinya, ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala (agama) dia jual dengan harga yang murah dan manhaj (prinsip agamanya) pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup atau kemapanan ekonomi. Dengan tegas Allah Subhanahu wata’ala memperingatkan orang-orang berilmu dari perbuatan yang tercela itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ () أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalamperutnya melainkan api. Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan (membeli) siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menghadapi api neraka!” (al-Baqarah: 174—175)
Ada hal penting yang patut diperhatikan. Sikap selektif dan sensitif dalam mendapatkan harta harus selalu dimiliki oleh setiap muslim, baik untuk kehidupan pribadi maupun kepentingan dakwahnya. Tidak asal comot. Tidak pula pakai prinsip “aji mumpung”. Mumpung ada dana, diterima sajalah!? Tanpa mencermati dari mana datangnya dana tersebut, apa latar belakangnya, dan apa pula efek setelah mendapatkannya, baik yang berkaitan dengan dirinya maupun dakwah secara umum.
Langkah-langkah di atas seyogianya ditempuh oleh setiap muslim sekalipun dana tersebut berasal dari lembaga/yayasan yang bergerak di bidang keagamaan atau bahkan yang mengatasnamakan Ahlus Sunnah. Betapa banyak lembaga/yayasan yang bergerak di bidang keagamaan atau yang mengatasnamakan Ahlus Sunnah, realitasnya jauh panggang dari api. Sudahkah kita bersabar menghadapi kondisi yang semacam ini? Marilah kita menengok kesabaran diri, mudahmudahan taufik dan inayah Allah Subhanahu wata’ala selalu bersama kita. Amiin…
Adapun godaan syubhat yang berupa kerancuan berpikir tak kalah dahsyatnya dengan godaan syahwat. Aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan Islam bermunculan, kesyirikan dipromosikan tanpa ada halangan, para dukun alias orang pintar dijadikan rujukan, ngalap berkah di kuburan para wali menjadi tren wisata religius (agama), dan praktik bid’ah (sesuatu yang diada-adakan) dalam agama meruak dengan dalih bid’ah hasanah. Semua itu mengingatkan kita akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
بَادِرُوا بِا عْألَْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) fitnah-fitnah (ujian dan cobaan) layaknya potongan-potongan malam. Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir. Di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no.118, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al- Madkhali hafizhahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang jujur lagi tepercaya telah memberitakan kepada kita dalam banyak haditsnya, termasuk hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (di atas, -pen.) tentang bermunculannya ragam ujian di tengah umat. Sungguh, telah datang berbagai ujian besar yang sangat kuat menghempas akidah dan manhaj (prinsip beragama) umat Islam, mencabik-cabik keutuhan mereka, menyebabkan pertumpahan darah antarmereka, dan menjatuhkan kehormatan mereka. Bahkan, benarbenar telah menjadi kenyataan (pada umat ini) apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبِعْتُمُوْهُمْ
‘Sungguh kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani, -pen.) sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta1. Sampai-sampai jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, -pen.) pasti kalian akan mengikutinya’.”
Lebih lanjut, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Saat ini di banyak negeri kaum muslimin muncul berbagai keburukan, seperti komunis, liberal, sekuler, sosialis, dan demokrasi dengan segala perangkatnya. Kelompok sesat Syiah Rafidhah dan Khawarij pun semakin gencar mengembuskan racun-racun yang dahulu mereka sembunyikan. Sebagaimana pula telah muncul kelompok sesat Qadiyaniah dan Bahaiah.” (Haqiqah al-Manhaj al- Wasi’ ‘Inda Abil Hasan, hlm. 2)
Di era globalisasi modern ini, keberadaan ujian syahwat dan syubhat semakin mengglobal. Terpaannya pun semakin dahsyat terhadap iman dan jiwa seseorang. Bagaimana tidak?! Ragam godaan syahwat dan syubhat dari manca negara dengan mudah dapat disaksikan di berbagai kanal televisi. Terlebih lagi di internet, semuanya dapat diakses secara bebas dan mudah. Bahkan, di dunia maya, semua orang—termasuk “pegiat dakwah”—dapat berkenalan dan bertemandengan siapa saja secara bebas dalam ajang FB (facebook) yang mengerikan itu. Para pencinta syahwat terfasilitasi untuk mengumbar syahwatnya. Demikian pula para penjaja syubhat terfasilitasi untuk menjajakan syubhatnya. Betapa banyak kasus perselingkuhan, perceraian, dan kasus-kasus rumah tangga lainnya terjadi akibat pertemanan bebas di facebook. Betapa banyak pula orangorang yang sebelumnya istiqamah di atas manhaj yang lurus menjadi melenceng akibat pertemanan bebas di facebook itu. Wallahul musta’an.
Akhir kata, semoga Allah Subhanahu wata’ala  menganugerahkan kesabaran diri kepada kita sehingga dimudahkan untuk istiqamah di atas kebenaran kala ujian dan coban menerpa. Amiin, Ya Mujibas sailin….


Ketenangan Hati dengan Berdzikir

(ditulis oleh: Al-Ustadz Jauhari, Lc.)

Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah l menjelaskan:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menyatakan, ﭮ artinya diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji dan ancaman, sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang padanya nama-nama dan sifat-sifat Allah k. Dan ini termasuk bukti keagungan Al-Qur`an dan keindahannya. Karena, Allah l mengetahui kebutuhan makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta menyempurnakan akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan air bagi tanaman. Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak disirami, ia akan layu bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu disirami maka dia akan baik dan berbuah dengan berbagai macam buah yang bermanfaat. Demikian pula hati. Ia selalu memerlukan pengulangan makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna dari Al-Qur`an hanya disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan tepat sasaran dan tidak akan membuahkan hasil.
Ibnu Katsir t berkata: “Adh-Dhahhak berkata: ﭮ, yaitu mengulang kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: ﭮ, yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang kisah Nabi Musa, Hud, dan nabi-nabi yang lain, r.”
Kemudian Ibnu Katsir t mengatakan: “Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa makna ﭮ adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya (kebalikannya). Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian orang-orang kafir, menyebutkan sifat surga kemudian sifat neraka.”
Jadi dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu bersama kebalikannya, Allah l menginginkan agar kita paham apa yang Allah l kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan:
وَبِضِدِّهَا تَتَمَيَّزُ الْأَشْيَاءُ
“Dan dengan kebalikannya, sesuatu dapat dibedakan.”
Dalam masalah musik pun demikian. Allah l jelaskan bagaimana jalan orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah l juga menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.
Orang yang Baik, Berakal, dan Beruntung
1. Orang-orang cerdik (ulul albab) selalu berdzikir
Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Ali ‘Imran: 191)
Al-Imam Al-Baghawi t mengatakan: “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan ini.”
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan, ini mencakup seluruh dzikir dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring.
Maka pada ayat ini Allah l menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan beruntung. Yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik,  dan mendatangkan pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.
2. Orang-orang beriman tenang hati mereka dan tentram dengan berdzikir
Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
Asy-Syaikh As-Sa’di t menyatakan, “Allah l menyebutkan sifat orang-orang beriman, maka Allah l menyatakan:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”
Maksudnya, akan hilang gundah gulana dan kegoncangannya, serta akan datang kebahagiaan dan ketentramannya.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada Penciptanya.
3. Orang yang beruntung adalah orang yang menjauhi perbuatan sia-sia yang tidak berguna
Allah l mengatakan:
“Telah beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.” (Al-Mu`minun: 1-3)
Makna ﭞ telah dijelaskan oleh para ulama.
Al-Imam Asy-Syaukani t dalam tafsirnya mengatakan: “Az-Zajjaj berkata, ﭞ adalah semua kebatilan, perkara sia-sia dan tidak serius, kemaksiatan, serta segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Sesungguhnya ﭞ di sini maknanya adalah kesyirikan.” Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Ia (ﭞ) adalah seluruh kemaksiatan.”
Makna ﭟ (berpaling darinya) adalah menjauhi dan tidak melirik kepadanya.
Inilah beberapa sifat dan kriteria orang-orang yang beriman. Mereka selalu menjaga waktu dan berupaya untuk memanfaatkannya untuk perkara yang membawa maslahat, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Mereka selalu berdzikir dengan membaca Al-Qur`an atau dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad n. Mereka mencari ketenangan dan ketentraman dengan ketaatan kepada Allah l. Maka pantas sekali bila mereka menjadi orang yang beruntung di sisi Allah l.
Orang-Orang yang Tidak Terbimbing
Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar, mereka menjauh dari dzikir kepada Allah l dan larut dalam godaan-godaan setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif. Karena Allah l telah menegaskan:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit….” (Thaha: 124)
Kalimat(berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir t, artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru mengambil bimbingan dari yang lain.”
Jadi, orang yang mendengarkan musik dan lagu-lagu, berarti ia telah berpaling dari Allah l. Karena Allah l telah melarangnya. Nabi n pun telah melarangnya.
Adapun(penghidupan yang sempit), para ahli tafsir berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menafsirkan bahwa  adalah kehidupan yang sempit, seperti dinukil dari Ibnu ‘Abbas c. Ada juga yang menyatakan bahwa maknanya adalah amalan dan rizki yang jelek, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Malik bin Dinar. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah adzab kubur. Ini dinukil dari Abu Sa’id Al-Khudri z, bahkan ada yang mengatakan bahwa (pendapat) ini marfu’ sampai kepada Nabi n.
Al-Bazzar t meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hujairah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad n, pada perkataan Allah l ﯺ (yang sempit), beliau menjelaskan: “Kehidupan yang sempit yang Allah l katakan adalah bahwa orang tersebut akan disiksa dengan 99 ekor ular yang memakan dagingnya sampai hari kiamat.” Riwayat ini dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t.
Al-Bazzar t juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah z, dari Nabi Muhammad n, beliau menyatakan adalah adzab kubur. Ibnu Katsir t menyatakan sanad hadits ini hasan.
Kaidah tafsir menyatakan: “Manakala ada penafsiran yang banyak dan tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat itu dibawa kepada semua makna yang ada.”
Walhasil, Ibnu Katsir t menyimpulkan bahwa tidak ada ketenangan dan kelapangan dada bagi orang yang menjauh dari syariat Allah l.
Orang yang Menjauh dari Dzikir akan Ditemani Setan yang Menyesatkannya
Termasuk hukuman yang Allah l berikan atas orang yang menjauh dari dzikir –dan orang yang senang dengan lagu dan musik termasuk dalam hal ini– adalah bahwa Allah l akan mengirim setan dan membiarkannya menyesatkan orang tersebut. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Dzat Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf: 36)
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan, Allah l mengabarkan tentang hukuman yang keras bagi orang yang berpaling dari peringatan-Nya. Maka Allah l mengatakan: ﭦ  ﭧ artinya, “dan barangsiapa yang berpaling dan menghalangi”, ﭨ  ﭩ  ﭪ   yaitu Al-Qur`an yang agung, yang merupakan nikmat yang terbesar dari Allah l kepada hamba-Nya. Maka, siapa yang menerimanya berarti dia telah menerima pemberian yang terbaik, dan beruntung mendapatkan hasil yang terbesar. Sebaliknya, siapa yang menjauh darinya atau menolaknya, maka dia telah gagal dan merugi, serta tidak akan berbahagia selamanya. Selanjutnya, Allah l akan kirimkan kepadanya setan yang membangkang untuk menemani dan menyertainya, memberikan janji-janji dan angan-angan, serta mendorongnya berbuat maksiat. Semoga Allah l menjauhkan kita dari hal ini.
Dari paparan Al-Qur`an yang sangat jelas tadi, orang yang berakal tentunya akan memilih perkara yang jelas membawa manfaat, yaitu selalu berdzikir, membaca Al-Qur`an, dan mengamalkan syariat Allah l, baik shalat maupun yang lain, yang akan menentramkan hati dan membawa kebahagiaan ukhrawi. Dia juga akan berusaha keras meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah l, Dzat yang telah menciptakannya, meskipun perkara ini telah mendarah daging pada dirinya. Allah l akan membimbing kita kepada jalan yang benar sebagaimana telah ditegaskan:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut: 69)
Nabi Muhammad n juga telah memberikan motivasi, bahwa ketika semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang dalam suatu perkara, maka balasan dari Allah l juga lebih besar. Diriwayatkan dari Anas bin Malik z bahwa Nabi n bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya cobaan.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, no. 57, Ibnu Majah, Kitabul Fitan, no. 23. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan gharib.” Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 110)
Wallahu a’lam.

Anak Angkat dalam Islam

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullaahu
Tanya:
Bolehkah menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat dalam keluarga kita di mana kita menganggapnya seperti anak sendiri? Lalu bagaimana hijab dengannya bila si anak sudah baligh?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau, “Dahulu di jaman jahiliah, orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat mereka seperti anak mereka yang hakiki atau seperti anak kandung dari segala sisi; dalam hal warisan, dalam hal bolehnya anak angkat tersebut berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri mereka, dan dianggapnya istri mereka sebagai mahram bagi anak angkat tersebut.
Adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat. Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:
1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚذَ‌ٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan bahwa ucapan seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya). Bahkan tidaklah mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi selain ayahnya. Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang lelaki tidaklah mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang lain, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung1. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban anak-anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka adalah saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.
2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan di atas2. Juga disebutkan bahwa dalam perkara anak angkat, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya3.” (An-Nisa’: 33)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu yang menyatakan, “Ayat ini hanyalah turun terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam perkara mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat4, sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan dzawil arham5 dan ‘ashabah6. Allah ‘Azza wa Jalla meniadakan adanya hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat tersebut dalam bentuk wasiat.”7
3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya. Hal ini tampak dengan Allah ‘Azza wa Jalla menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang dulunya merupakan anak angkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang hal tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan hikmah dari kejadian tersebut dengan firman-Nya:
زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا
“Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
Berarti dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri anak-anak angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka telah bercerai).
4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi. Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab)….”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)
5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku, yaitu:
وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
“Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نَقْرَأُ: وَلاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits yang shahih dinyatakan:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan ia tahu orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.”8
Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan berikut ini:
Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قَدَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُغَيْلِمَةَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ لَنَا مِنْ جَمْعٍ، فَجَعَلَ يَلْطَخُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُوْلُ: أُبَيْنـِيَّ –تَصْغِيرُ ابْنِي– لاَ تَرْمُوا الْجُمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jumrah sampai matahari terbit.”9
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat.10”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 889-891)
Footnote:
1 Awal ayat di atas berbunyi:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/jantung dalam rongganya….” (Al-Ahzab: 4)
2 Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin….”
3 Awal ayat ini adalah:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
4 Wasiat di sini tidak lebih dari 1/3 harta si mayit.
5 Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan.
Ahli waris terbagi dua:
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
6 ‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak mendapat semua harta si mayit.
7 Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57.
8 HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217.
9 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
10 Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.

Mukadimah Ilmu Hadits

Berkata Asy-Syaikh ‘Izzudin ibnu Jama’ah:

عِلْمُ الْحَدِيْثِ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتَنِ
“Ilmu hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dasar untuk mengetahui keadaan suatu sanad atau matan.”
Topik Pembahasan Ilmu Hadits
Topik pembahasan ilmu hadits adalah sanad dan matan.
Tujuan Mempelajari Ilmu Hadits
Mengetahui hadits-hadits yang shahih dari yang selainnya.
Sanad atau Isnad
السَّنَدُ أَوِ (الإِسْنَادُ): هُوَ سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الْمَوْصِلَةُ إِلَى الْمَتَنِ
Sanad atau isnad yaitu silsilah (mata rantai) perawi yang menghubungkan kepada suatu matan.
Matan
الْمَتَنُ: هُوَ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ السَّنَدُ مِنْ كَلاَمٍ
Matan adalah ucapan atau kalimat yang berhenti padanya sebuah sanad.
Contoh sanad dan matan:
قال الإمام البخاري رحمه الله تعالى:
Berkata Imam Al-Bukhari rahimahullaahu:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيُّ أَنَهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى إِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»۱
Sanad hadits yaitu perkataan Imam Al-Bukhari rahimahullâhu حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ sampai perkataan beliau سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
Matan hadits yaitu sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» sampai sabda beliau «فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
Perawi hadits, mereka adalah: Al-Humaidi ‘Abdullah bin Az-Zubair, Sufyan, Yahya bin Said Al-Anshari, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
Shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut adalah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
Penulis hadits (yakni yang mengeluarkan hadits tersebut adalah Imam Al-Bukhari rahimahullaahu.
Apa makna perkataan الحَدِيْثُ أَخْرَجَهُ فُلاَنٌ “hadits ini dikeluarkan oleh fulan”?
Jawab: Makna perkataan الحَدِيْثُ أَخْرَجَهُ فُلاَنٌ adalah hadits tersebut dibawakan oleh fulan lengkap dengan sanadnya.
Hadits
الحَدِيْثُ: هُوَ مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ (سُكُوْتُ عَنْ فِعْلٍ حَدَثَ أَمَامَهُ) أَوْ صِفَةٍ (خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ)
Hadits ialah semua yang warid dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam baik yang berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan (diamnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari perbuatan yang terjadi di hadapannya) atau sifat (postur tubuh/perilaku).
Contoh hadits qauli (perkataan):
Dari Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى إِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
ِ
Aku mendengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya, barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia yang ingin dicapainya atau untuk wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Contoh hadits fi’li (perbuatan):
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallaahu anhuma, ia berkata: “Dahulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun malam untuk shalat, menggosok giginya dengan siwak.”
Contoh hadits taqriri (persetujuan):
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: أَهْدَتْ أُمُّ حُفَيْدٍ خَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقِطًا وسَمْنًا وَأَضُبًّا فَأَكَلَ مِنَ الأَقِطِ والسَّمْنِ وَتَرَكَ الضَّبَّ تَقَّذُّرًا وَأَكَلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata: “Bibiku Ummu Hufaid pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa mentega, keju dan daging dhabb (sejenis biawak). Beliau makan keju dan menteganya, dan beliau meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, kemudian makanan yang dihidangkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dimakan (oleh para shahabat). Jika (dhabb itu) haram, niscaya kami tidak akan makan hidangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Contoh hadits washfi (sifat lahiriah):
عَنْ أَبِيْ إِحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ البَرَاءَ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا أَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ
Dari Abi Ishaq, berkata: “Aku mendengar Al-Bara’ radhiyallaahu ‘anhu mengatakan: ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik (tampan) wajahnya, paling bagus postur tubuhnya, tidak tinggi jangkung dan tidak terlalu pendek.’”
Contoh hadits washfi (sifat batiniah/akhlaq/perilaku):
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya.”
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِيْنَ فَمَا أَعْلَمُهُ قَالَ لِي قَطُّ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلاَ عَابَ عَلَيَّ شَيْئًا قَطُّ
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu juga, ia berkata: “Aku mengabdi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun, sekalipun aku tidak pernah mendengar (mengetahui) beliau mengatakan kepadaku: ‘Kenapa kamu melakukan seperti ini dan seperti itu?’ Beliau juga tidak pernah mencelaku sedikitpun.”
Apa perbedaan antara hadits, atsar, dan khabar?
- Hadits khusus hanya digunakan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Adapun atsar, khusus digunakan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka.
Kadang-kadang atsar ini digunakan untuk khabar-khabar yang disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan taqyid (catatan). Contohnya seperti perkataan: “Dan di dalam atsar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ….” Adapun secara mutlak, atsar berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada para shahabat dan orang-orang yang setelah mereka.
Contoh atsar:
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”
- Sedangkan khabar lebih umum, mencakup hadits dan atsar.
Hadits dilihat dari segi diterima atau tidaknya terbagi menjadi tiga, yaitu: shahih, hasan, dan dha’if.
Footnote:
(۱) هكذا أخرجه البخاري، باب: كيف كان بدء الوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم … بدون قوله صلى الله عليه وسلم «فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله»
1 Demikian hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullaahu, bab: “Kaifa kaana bada’ul wahyi ilaa Rasulillaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” tanpa lafazh:
«فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ»
(Dinukil dari شرح المنظومة البيقونية karya Abul Harits Muhammad bin Ibrahim Khiraj As-Salafi Al-Jazairi, edisi Indonesia: Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits (Penjelasan Al-Manzhumah Al-Baiquniyah), penerjemah: Abu Hudzaifah, penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’ Sukoharjo, cet. ke-2 Juni 2008M, hal. 8-13


Qunut Shubuh

Di blog ini pernah dibahas masalah hukum qunut Shubuh yang menyimpulkan – dari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang ada - , amalan tersebut tidak disyari’atkan. Kali ini kita akan melihat bagaimana madzhab mayoritas salaf yang berkesesuaian dengan hal tersebut.
1.     Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan Thaariq bin Asyyam radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " قُلْتُ لَهُ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ: أَفَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟ فَقَالَ: لَا يَا بُنَيَّ، هِيَ مُحْدَثَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Abu Maalik, dari ayahnya; ia (Abu Maalik) berkata : “Aku berkata kepadanya : ‘Engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. Apakah mereka semua melakukan qunut (dalam shalat Shubuh) ?”. Ia menjawab : “Tidak wahai anakku. Perbuatan itu adalah muhdats (diada-adakan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/308 (5/21) no. 7034; sanadnya shahih].
2.     ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، وَالأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ، وَعَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الأَوْدِيِّ، قَالا: " صَلَّيْنَا خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ الْفَجْرَ، فَلَمْ يَقْنُتْ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Manshuur dan Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad bin Yaziid dan ‘Amru bin Maimuun, mereka berdua berkata : “Kami pernah shalat Shubuh di belakang ‘Umar bin Al-Khaththaab dan ia tidak melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/106 no. 4948; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ صَالِحٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، وَالأَسْوَدِ، وَمَسْرُوقٍ أَنَّهُمْ، قَالُوا: " كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْفَجْرَ فَلَمْ يَقْنُتْ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Syihaab, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, Al-Aswad, dan Masruuq, mereka semua berkata : “Kami shalat Shubuh di belakang ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, dan ia tidak melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/250 no. 1486; sanadnya shahih[1]].
3.     ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنِ الشَّعْبِيّ، قَالَ: " لَمَّا قَنَتَ عَلِيٌّ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ أَنْكَرَ النَّاسُ ذَلِكَ، قَالَ: فَقَالَ: إِنَّمَا اسْتَنْصَرْنَا عَلَى عَدُوِّنَا "
Dari Asy-Sya’biy, ia berkata : “Ketika ‘Aliy melakukan qunut dalam shalat Shubuh, orang-orang mengingkarinya. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Itu kami lakukan hanyalah untuk meminta pertolongan kepada Allah untuk mengalahkan musuh kami[2]” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/310 (5/26) no. 7055; sanadnya shahih[3]].
Riwayat ini memberikan penjelasan pada kita qunut yang dilakukan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah qunut nazilah.[4] Hal ini sekaligus memberikan penjelasan tambahan bahwa riwayat-riwayat lain yang ternukil dari ‘Aliy bahwa ia melakukan qunut pada waktu shalat Shubuh bukan qunut yang didawamkan seperti yang dimaksudkan dalam bahasan ini, akan tetapi qunut nazilah.
Faedah lain : Pengingkaran orang-orang kepada ‘Aliy menunjukkan bahwa ‘Aliy sebelumnya tidak pernah melakukan qunut pada waktu shalat Shubuh, dan qunut di waktu shalat Shubuh tidak lazim dilakukan.
4.     ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَلَطِيُّ، ثنا أَبُو نُعَيْمٍ، ثنا أَبُو الْعُمَيْسِ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الأَسْوَدِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " كَانَ عَبْدُ اللَّهِ، لا يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الْغَدَاةِ، وَإِذَا قَنَتَ فِي الْوِتْرِ قَنَتَ قَبْلَ الرَّكْعَةِ "
Telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Muhammad Al-Malathiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Umais : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Al-Aswad, dari ayahnya, ia berkata : “’Abdullah (bin Mas’uud) tidak melakukan qunut dalam shalat Shubuh. Apabila ia melakukan qunut dalam shalat witir, ia melakukannya sebelum rukuk” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, 9/272 no. 9166; sanadnya shahih].
5.     ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ وَاقِدٍ مَوْلَى زَيْدِ بْنِ خُلَيْدَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُمَا كَانَا لَا يَقْنُتَانِ فِي الْفَجْرِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Waaqid maulaa Zaid bin Khulaidah, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar : Bahwasannya keduanya tidak melakukan qunut dalam shalat Shubuh [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/309 (5/23) no. 7043; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، " أَنَّ  ابْنَ  عَبَّاسٍ  كَانَ لَا يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Aliy, dari Zaaidah, dari Manshuur, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mujaahid dan Sa’iid bin Jubair : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas tidak melakukan qunut dalam shalat Shubuh [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/311 (5/28) no. 7068; sanadnya hasan].
6.     Abud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنِي نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَوْدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ بَشِيرٍ، عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: " لا قُنُوتَ فِي الْفَجْرِ "
Telah menceritakan kepadaku Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Audiy, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Basyiir, dari Ibnu Syubrumah, dari ‘Alqamah, dari Abud-Dardaa’ ia berkata : “Tidak ada qunut dalam shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 662; sanadnya hasan].
7.     ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، كَانَ لا يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ "
Dari Maalik, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar tidak melakukan qunut dalam shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/106 no. 4952; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو الْحَسَنِ الْعَنَزِيُّ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ، ثنا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا هَمَّامٌ، عَنْ قتادة، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، قَالَ: " صَلَّيْتُ مَعَ  ابْنِ  عُمَرَ  صَلاةَ الصُّبْحِ، فَلَمْ يَقْنُتْ، فَقُلْتُ لابْنِ عُمَرَ: لا أَرَاكَ تَقْنُتُ، قَالَ: لا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepadaku Abul-Hasan Al-’Anaziy : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, dari Abu Mijlaz, ia berkata : Aku pernah shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar, namun ia tidak melakukan qunut. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar : ‘Aku tidak melihatmu melakukan qunut’. Ia menjawab : ‘Aku tidak menghapal dari salah seorang shahabat kami (tentang hal tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 2/213 (2/302) no. 3157; sanadnya shahih].
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak mengetahui adanya pelaziman qunut Shubuh di jamannya. Padahal, ia termasuk salah seorang shahabat yang paling semangat dalam hal ittiba’ terhadap sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
8.     ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ صَلَّى بِهِمُ الصُّبْحَ فَلَمْ يَقْنُتْ "
Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, dari Zakariyyaa bin Ishaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Diinaar : Bahwasannya Ibnuz-Zubair pernah shalat Shubuh bersama mereka, dan tidak melakukan qunut [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/309 (5/23) no. 7044; sanadnya shahih].
9.     Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، ثنا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخٍ، ثنا غَالِبُ بْنُ فَرْقَدٍ الطَّحَّانُ، قَالَ: " كُنْتُ عِنْدَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ شَهْرَيْنِ، فَلَمْ يَقْنُتْ فِي صَلاةِ الْغَدَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz : Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami Ghaalib bin Farqad Ath-Thahhaan, ia berkata : “Aku pernah di sisi Anas bin Maalik selama dua bulan, dan ia tidak melakukan qunut dalam shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 1/245 no. 693; sanadnya hasan].
Faedah : Riwayat ini menguatkan adanya kekeliruan riwayat Abu Ja’far Ar-Raaziy yang membawakan hadits Anas yang di dalamnya terdapat pernyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut Shubuh hingga meninggal dunia. Seandainya memang hadits Abu Ja’far tersebut shahih, niscaya Anas akan senantiasa mencontoh beliau dan tidak meninggalkannya.
Anas sendiri telah menjelaskan bahwa qunut yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah sebulan saja, lalu meninggalkannya.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ الدَّسْتُوَائِيُّ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad-Dastuwaa’iy, dari Qataadah, dari Anas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah melakukan qunut dalam shalat Shubuh selama sebulan saja setelah rukuk” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/310 (5/24-25) no. 7052; sanadnya shahih].
Yaitu, qunut naziilah mendoakan kejelekan terhadap Bani Ri’l dan Dzakwaan pasca peristiwa Bi’r Ma’uunah.
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ، عَنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ شَهْرًا بَعْدَ الرِّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ "
Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Mu’aadz, dari At-Taimiy, dari Abu Mijlaz, dari Anas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah melakukan qunut dalam shalat Shubuh selama sebulan saja setelah rukuk, mendoakan kejelekan terhadap (Bani) Ri’l dan Dzakwaan” [idem 2/310 (5/25) no. 7053; sanadnya shahih].
Dari kalangan taabi’iin :
1.     Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar.
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ " هَلْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: لا، إِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أَحْدَثَهُ النَّاسُ بَعْدُ "
Dari Ibnu ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Najiih, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Saalim bin ‘Abdillah : “Apakah ‘Umar dulu melakukan qunut dalam shalat Shubuh ?”. Ia menjawab : “Tidak, hal itu hanyalah sesuatu yang diada-adakan manusia setelahnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/108 no. 4955; sanadnya shahih hingga Saalim].
2.     Sa’iid bin Jubair.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ الْفَجْرَ فَلَمْ يَقْنُتْ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mis’ar, dari ‘Amru bin Murrah, ia berkata : “Aku pernah shalat Shubuh di belakang Sa’iid bin Jubair, dan ia tidak melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/310 (5/27) no. 7060; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الصَّمَدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، قَالَ: " سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنِ الْقُنُوتِ، فَقَالَ: بِدْعَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Bisyr, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang qunut, lalu ia menjawab : ‘Bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 692; sanadnya shahih].
3.     Ibraahiim An-Nakha’iy.
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَسُلَيْمَانَ، قَالَا: كَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ إِمَامٌ "
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَسُلَيْمَانَ، قَالَا: كَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ إِمَامٌ "
Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Aliy, dari Zaaidah, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah dan Sulaimaan, mereka berdua berkata : “Ibraahiim tidak melakukan qunut dalam shalat Shubuh sedangkan waktu itu ia berposisi sebagai imam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/311 (5/28) no. 7067; sanadnya shahih].
4.     Dan yang lainnya.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 07031435/09012014 – 00:12].




[1]      Ada riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang lain dari jalan Ibraahiim yang menyatakan ‘Umar melakukan qunut pada waktu shalat Shubuh, akan tetapi kualitasnya dla’iif.
Al-Baihaqiy meriwayatkan dari Hammaad bin Abi Sulaimaan Al-Asy’ariy dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ بِشْرٍ الْمَرْتَدِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنبأ شُعْبَةُ، قَالَ: وَأَخْبَرَنِي الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الدَّارِمِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ هُوَ ابْنُ خُزَيْمَةَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ثنا شُعْبَةُ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي السَّفَرِ، وَالْحَضَرِ فَمَا كَانَ يَقْنُتُ إِلا فِي صَلاةِ الْفَجْرِ "
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah memveritakan Abu Bakr Muhammad bin Ahmad Baalawaih : telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Bisyr Al-Martadiy : telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ja’d : Telah memberitakan Syu’bah, ia berkata : (ح). Dan telah mengkhabarkan kepadaku Al-Husain bin ‘Aliy Ad-Daarimiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Hammaad, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pada waktu safar dan hadir (tidak safar), maka ia tidak melakukan qunut kecuali dalam shalat Shubuh” [As-Sunan Al-Kubraa, 2/203 (2/289)].
Riwayat ini syaadz, karena Hammaad dalam periwayatan dari Ibraahiim menyelisihi Manshuur dan Al-A’masy yang keduanya derajatnya jauh lebih tinggi dari Hammaad dalam ketsiqahan.
Apalagi Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 238 dan Ibnu Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 3859 dari jalan Hammaad, akan tetapi dengan lafadh :
صَلَّيْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي السَّفَرِ وَفِي الْحَضَرِ مَا لا أُحْصِي، فَكَانَ لا يَقْنُتُ، يَعْنِي فِي الصُّبْحِ
“Aku sering shalat di belakang ‘Umar radliyallaahu ‘anhu pada waktu safar dan hadir (tidak safar), maka ia tidak melakukan qunut, yaitu dalam shalat Shubuh”.
Riwayat ini sama-sama berasal dari Hammaad, akan tetapi lafadhnya berlainan. Ini menunjukkan ketidak-dlabth-annya dalam membawakan riwayat Ibraahiim (An-Nakha’iy).
Hammaad bin Abi Sulaimaan Muslim Al-Asy’ariy, Abu Ismaa’iil Al-KuufiyAl-Faqiih; seorang yang faqiih lagi shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqahke-5, dan wafat tahun 120 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 269 no. 1508].
Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630]. Mengenai tadlis­inya, riwayatnya yang berasal dari Ibraahiim (An-Nakhaa’iy), Ibnu Abi Waail, dan Abu Shaalih, ‘an’anah-nya dihukumi muttashil [Miizaanul-I’tidaal, 2/224].
Manshuur bin Al-Mu’tamir bin ‘Abdillah bin Rabii’ah, Abu ‘Attaab Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 973 no. 6956].
Ada riwayat lain:
وَإِذَا ابْنُ مَرْزُوقٍ قَدْ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدَةَ بْنِ أَبِي لُبَابَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ: " أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَنَتَ فِي صَلاةِ الْغَدَاةِ قَبْلَ الرُّكُوعِ بِالسُّورَتَيْنِ "
Ibnu Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jariir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Abdah bin Abi Lubaabah, dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu melakukan qunut dalam shalat Shubuh sebelum rukuk dengan dua surat” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/250 no. 1477; sanadnya shahih].
حَدَّثَنِي نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَوْدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ يَعْنِي ابْنَ أَبِي سَاسَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ الأَسَدِيِّ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ الْفَجْرَ فَقَنَتَ "
Telah menceritakan kepadaku Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Asadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim bin Abi Saasaan, dari Muhammad bin Qais Al-Asadiy, dari Asy-Sya’biy, dari Suwaid bin Ghafalah, ia berkata : “Aku pernah shalat Shubuh di belakang ‘Umar bin Al-Khaththaab, dan ia melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 605; sanadnya hasan].
وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا أُسَيْدُ بْنُ عَاصِمٍ، ثنا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، ثنا عَوْفٌ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سِتَّ سِنِينَ، فَكَانَ يَقْنُتُ "
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : telah menceritakan kepada kami Usaid bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami ‘Auf, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang ‘Umar radliyallaahu ‘anhu selama enam tahun, dan ia melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/204 (2/290) no. 3114; sanadnya shahih].
Riwayat-riwayat ini kelihatan kontradiktif dengan riwayat sebelumnya. Ada riwayat lain yang menjelaskan :
فَإِذَا يَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ قَدْ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مِسْعَرُ بْنُ كِدَامٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: " رُبَّمَا قَنَتَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ".
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Sinaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mis’ar bin Kidaam, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-Malik bin Maisarah, dari Zaid bin Wahb, ia berkata : “’Umar radliyallaahu ‘anhu kadang-kadang melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/251 no. 1490; sanadnya shahih].
Artinya, ‘Umar kadang melakukan qunut, kadang pula meninggalkannya sehingga beberapa riwayat ‘Umar tersebut dapat dijamak. Akan tapi, qunut apakah yang dilakukan ‘Umar ?. Berikut jawabannya :
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، أَنَّهُ قَنَتَ مَعَ عُمَرَ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوعِ، يَدْعُو عَلَى الْفَجَرَةِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuunah, dari Abu Raafi’ : Bahwasannya ia pernah melakukan qunut bersama ‘Umar dalam shalat Shubuh setelah rukuk untuk mendoakan kejelekan (kekalahan) bagi orang-orang yang durhaka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 586; sanadnya shahih].
فَإِذَا ابْنُ أَبِي عِمْرَانَ قَدْ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْوَاسِطِيُّ، عَنْ أَبِي شِهَابٍ الْحَنَّاطِ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، عَنْ حَمَّادٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: " كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا حَارَبَ قَنَتَ، وَإِذَا لَمْ يُحَارِبْ لَمْ يَقْنُتْ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Imraan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan Al-Waasithiy, dari Abu Syihaab Al-Hanaath, dari Abu Haniifah, dari Hammaad rahimahumallah, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata : “Dulu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu apabila sedang berperang, ia melakukan qunut. Namun apabila ia tidak sedang berperang, ia tidak melakukan qunut” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/251 no. 1491; sanadnya lemah karena faktor Abu Haniifah].
Meskipun sanad riwayat kedua lemah, akan tetapi semakna dengan riwayat pertama.
Jadi, qunut ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu adalah qunut naziilah.
[2]      Yaitu saat terjadi fitnah peperangan antara ‘Aliy dan Mu’aawiyyah atau Khawaarij, wallaahu a’lam.
[3]      Bahasan riwayat Asy-Sya’biy dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, silakan baca : Penyimakan Hadits Asy-Sya’biy dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
[4]      ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu tidak hanya qunut di waktu shalat Shubuh, akan tetapi juga shalat Maghrib dan bahkan disemua waktu shalat :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو عَمْرِو بْنُ مَطَرٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، ثنا أَبِي، ثنا شُعْبَةُ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ، سَمِعَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَعْقِلٍ، يَقُولُ: " شَهِدْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الْعَتَمَةِ، أَوْ قَالَ: الْمَغْرِبِ بَعْدَ الرُّكُوعِ، وَيَدْعُو فِي قُنُوتِهِ عَلَى خَمْسَةٍ وَسَمَّاهُمْ "
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah memberitakan Abu ‘Amru bin Mathar : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz : Telah menceritakan kepadaku dari ayahku : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Ubaid bin Al-Hasan, ia mendengar ‘Abdurrahmaan bin Ma’qil berkata : “Aku menyaksikan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu melakukan qunut dalam shalat ‘Atamah – atau ia berkata : Maghrib – setelah rukuk, dengan berdoa dalam qunutnya atas lima orang dan ia menyebutkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/245 (2/347) no. 3325; sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 7/182 dari jalan Salamah bin Kuhail dari Ibnu Ma’qil].
حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ بَشِيرٍ، عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ، قَالَ: " سَأَلْتُ الشَّعْبِيَّ عَنِ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ، فَقَالَ: كُلُّ صَلاةٍ يَقْنُتُ فِيهَا "، قُلْتُ: " قَدْ عَرَفْتُ مَا أَرَدْتَ، كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ يَدْعُو عَلَى عَدُوِّهِ "، فَقَالَ: مَا قَنَتَ حَتَّى دَعَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Sa’iid Al-Kindiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Basyiir, dari Ibnu Syubrumah, ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada Asy-Sya’biy tentang qunut dalam shalat Shubuh, lalu ia berkata : ‘Qunut dilakukan di semua shalat (tidak hanya shalat Shubuh saja – Abul-Jauzaa’)’. Aku berkata : ‘Sungguh aku mengetahui apa yang engkau maksudkan. Dulu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu melakukan qunut mendoakan kekalahan bagi musuhnya’. Ia (Asy-Sya’biy) berkata : ‘Ia tidak melakukan qunut hingga sebagian mereka mendoakan kejelekan/kekalahan terhadap sebagian lainnya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 694; sanadnya hasan].
Artinya, qunut yang dilakukan ‘Aliy adalah qunut nazilah.
 
Copyright © 2013. 'Azolla' Fish Farm - All Rights Reserved
Template Created by ThemeXpose