Diantara proses yang akan di lewati oleh
seseorang yang ingin menikah adalah proses khitbah (melamar) seorang
wanita yang ia sukai untuk menikah dengannya. hal ini sebagaimana
perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
meminang ‘Aisyah binti Abi Bakr dan Hafsah binti Umar bin Khathab.Yang
mana hukumnya sunnah sebagimana di jelaskan oleh para ulama.
“Ya Ukhti Maukah Engkau Menikah Denganku ?” |
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam masalah ini baik untuk laki-laki yang datang mengkhitbah atau
perempuan yang laki-laki datang mengkitbahnya.
Yang pertama : Cari tahu lebih lanjut tentang kebaikkan agama, akhlak, manhaj dan fisik calonnya
sebelum mengkitbah atau menikah dengan tanpa berlebih-lebihan sehingga
melangar batasan-batasan syar’i atau meremehkan sehingga menjadi masalah
atau batu sandungan kelak dalam rumah tangganya.
Tentang hal ini, yaitu memperhatikan kebaikan agama dan akhlaq calonnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena empat
perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya
dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا خطب إليكم من ترضون دينه وخلقه فزوّجوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
“Jika datang kepada kalian seorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh syaikh Al-Albani)
Adapun yang terkait dengan mencari tahu
lebih lanjut fisik calon yang akan dikhitbah atau yang akan ia nikahi
terdapat dalam beberapa hadits diantaranya sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِىّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئًا ِ
“Aku berada di sisi Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu seseorang datang kepada beliau
untuk memberitahukan bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita Anshar,
maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya :
‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda :
“Pergilah dan lihatlah dia, sebab di mata orang Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim : 3550)
Dan dalam hadist yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang diantara kalian
meminang wanita, maka apabila dia bisa melihat apa yang mendorongya
untuk menikahinya, maka lakukanlah.”
Ia mengatakan : “ Aku (Jabir) melamar
seorang gadis, lalu aku bersembunyi untuknya agar aku bisa melihat
darinya apa yang dapat mendorongku untuk menikahinya, lalu aku
menikahinya.” (HR. Abu Dawud : 2084, dan menurut Imam Adz Dzahabi, para rawinya tsiqah)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepada Al-Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu yang
meminang seorang wanita :
انظر إليها فإنه أحرى أن يؤدم بينكما
“Lihatlah ia, dikarenakan hal itu lebih melanggengkan di antara kalian berdua.” (HR. At-Tirmidzi : 1087)
Kedua : Tidak boleh meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya semuslim
Tentang hal ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin itu saudara bagi
mukmin yang lainnya tidak halal bagi seorang muslim membeli atas apa
yang dibeli saudaranya dan tidak juga mengkhitbah (meminang) pinangan
saudaranya hingga dia meninggalkannya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain terdapat lafadzh “ atau laki-laki yang mengkhitbah mengijinkannya”
Pada masalah ini ada beberapa kondisi :
- Yaitu seorang laki-laki mengkhitbah seorang wanita, dan wanita tersebut atau walinya menyetujuinya maka pada kondisi ini tidak boleh laki-laki lain untuk datang mengkhitbah wanita tersebut. Dalam masalah ini tidak ada khilaf sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah.
- Yaitu wanita yang dikithbah menolaknya maka jika kondisinya seperti ini maka boleh bagi laki-laki yang lain datang untuk mengkhitbahnya.
- Yaitu wanita yang di khitbah didapatkan dari dirinya apa yang menunjukkan ia ridho terhadap laki-laki yang mengkhitbahnya tetapi secara sindiran tidak secara jelas, maka jika seperti ini tidak boleh bagi yang lain untuk mengkhitbahnya berdasarkan dzohir hadits.
- Jika belum diketahui wanita itu menerima atau menolaknya, maka yang seperti inipun wallahu a’lam ana pribadi cenderung kepada pendapat yang mengatakan tidak boleh bagi laki-laki lain mengkhitbahnya.
Ketiga : Jangan lupa shalat istiqarah
Kita sandarakan segala urusan kita kepada
Allah. Agama kita mengajarkan untuk melaksanakan shalat istikharah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir Radiyallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari
kami istikharah di dalam segala urusan kami, sebagaimana mengajari kami
surat di dalam al-Qur’an, yaitu beliau bersabda : “Bila salah seorang
di antara kalian mempunyai urusan maka shalatlah dua rakaat, lalu
berdoalah : ‘Ya Allah, saya meminta dengan ilmu yang ada pada-Mu,
pilihan yang terbaik bagiku, saya minta ditetapkannya urusanku ini,
sesuai kehendak-Mu, saya memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkaulah
yang menetapkan sedang saya tidak bisa menetapkan. Engkau yang tahu
sedang saya tidak tahu, Engkaulah yang Maha Tahu tentang perkara-perkara
ghaib. Ya Allah, bila menurut-Mu urusan ini baik bagi diriku, agamaku,
penghidupanku, dan juga baik akibat-akibatnya, (dalam riwayat lain
disebutkan : di masa sekarang atau di kemudian hari) maka tetapkanlah
hal itu untukku. Namun, bila menurut-Mu urusan ini jelek bagi diriku,
agamaku, penghidupanku, dan juga jelek akibat-akibatnya, (dalam riwayat
lain disebutkan : di masa sekarang atau di kemudian hari) maka
jauhkanlah hal itu dariku dan jauhkanlah aku dari hal itu. Tetapkanlah
selalu kebaikan untukku apapun keadaannya, lalu jadikanlah aku ridha
kepadanya. Setelah membaca doa itu hendaklah ia menyebutkan keperluannya.’” (HR. Bukhari)
Keempat : Wanita yang telah dikhitbah statusnya tetap wanita ajnabiyyah (asing/bukan mahram)
sampai dilaksanakannya akad nikah. Maka diharamkan apa-apa yang
diharamkan bagi wanita asing. Seperti berduaan, jalan bareng atau yang
lainnya
Kelima : Tidak ada tukar cincin dalam khitbah (lamaran)
Karena hal ini bukanlah bagian dari adat
kaum muslimin bahkan hal ini adalah adatnya atau kebiasaannya orang
kafir yang kita diperintahkan untuk menyelisihinya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
adapun jika memakai cincinnya tersebut disertai dengan keyakinan syirik maka hukumnya syirik. naudzubillah
Itu diantara perkara yang penting yang
perlu diketahui berkaitan dengan masalah khitbah, semoga penjelasan yang
sederhana ini bermanfaat untuk kita semua. Wallahu a’lam bisshawwab
Blogger Comment
Facebook Comment