Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Tak ada jalan yang tak berkelok Tak ada lautan yang tak berombak. Tak
ada ladang yang tak beronak. Di mana ada kehidupan pasti di situ ada
ujian dan cobaan. Demikianlah sekelumit tentang sketsa kehidupan dunia
yang fana ini. Allah
Subhanahu wata’ala menjadikannya sebagai medan tempaan (
darul ibtila’), untuk menguji kualitas kesabaran dan penghambaan segenap hamba-Nya.
Al-Imam Ibnul Qayyim
rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah
Subhanahu wata’ala
menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi
untuk menguji sejauh manakah kesabaran dan penghambaannya. Sebab,
sesungguhnya Allah
Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam kondisi sulit dan dalam hal-hal yang tidak disukai (oleh jiwa), sebagaimana pula Dia
Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam hal-hal yang disukai. Kebanyakan orang siap mempersembahkan penghambaannya kepada Allah
Subhanahu wata’ala
dalam hal-hal yang disukainya. Karena itu, perhatikanlah penghambaan
kepada-Nya dalam hal-hal yang tak disukai. Sebab, di situlah letak
perbedaan yang membedakan kualitas para hamba. Kedudukan mereka di sisi
Allah
Subhanahu wata’ala pun sangat bergantung pada perbedaan kualitas tersebut.” (
al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 5)
Ujian dan Cobaan dalam Ranah Kehidupan Beragama
Setiap muslim sejati tentu menyadari bahwa ragam ujian dan cobaan
pasti menerpa kehidupannya. Tiada bimbingan ilahi dalam menghadapi ragam
ujian dancobaan itu melainkan dengan bersabar atasnya meski disadari
bahwa kesabaran itu sangat berat dilakukan. Namun, itulah hikmah
kehidupan yang dikehendaki oleh Allah
Subhanahu wata’ala
Dzat Yang Maharahman. Dalam ranah kehidupan beragama, ada tiga jenis
ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya.
Bagaimana pun situasi dan kondisinya, pasti dia akan menghadapinya. Tiga
jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
1. Perintah-perintah Allah
Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati.
2. Larangan-larangan Allah
Subhanahu wata’ala (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah
Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya
Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah
Subhanahu wata’ala. (Lihat
Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [hlm. 90—91],
Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi [3/101], dan
Madarijus Salikin [2/156], dll.)
Sejauh manakah kesabaran dan penghambaan kita kepada Allah
Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis ujian dan cobaan itu? Sudahkah kita bersabar di atas ketaatan kepada Allah
Subhanahu wata’ala dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya?
Sudahkah kita bersabar dari perbuatan maksiat dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wata’ala? Sudahkah kita bersabar atas segala musibah yang menimpa dengan ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah
Subhanahu wata’ala?
Marilah kita menengok kesabaran diri masing-masing. Semoga Allah
Subhanahu wata’ala menutupi segala kekurangan kita dan mengampuni segala kesalahan kita.
Wallahul musta’an.
Dalam menjalani kehidupan beragama, setiap muslim tak bisa dipisahkan
dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan yang bersifat majemuk
baik dari sisi karakter, latar belakang keluarga dan pendidikan, maupun
pemahaman agama. Di situlah seorang muslim akan diberi ujian dan cobaan
oleh Allah
Subhanahu wata’ala terkait dengan tiga jenis kesabaran di atas. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
الم () أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُو
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)
Ujian dan cobaan itu pun beragam bentuknya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kalian dengan keburukan dan kebaikan “Alif Laam Miim. Apakah manusia
mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak
diberi ujian?” sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada
Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Di antara ujian dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang
tidak suka terhadap orang-orang yang istiqamah di atas jalan kebenaran.
Mereka mencela, menghina, mencibir, bahkan memusuhi orang-orang yang
istiqamah itu. Kondisi semacam ini bahkan telah dialami oleh para nabi
terdahulu yang mulia. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh
dariorang-orang yang berdosa. Cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk
dan penolong.” (al-Furqan: 31)
Maka dari itu, siapa saja dari hamba Allah
Subhanahu wata’ala
, baik muslim maupun muslimah yang berupaya istiqamah, dengan meniti
jejak Rasulullah n dan para sahabatnya (bermanhaj salaf) akan mengalami
ujian terkait dengan keistiqamahannya itu. Tudingan sok alim, eksklusif,
merasa benar sendiri, bertentangan dengan adat dan tradisi masyarakat,
teroris, dan ujung-ujungnya vonis sesat, kerap kali menerpa. Semua itu
Allah
Subhanahu wata’ala tetapkan untuk menguji kesabaran para hamba- Nya. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Dengan demikian, tiada jalan keselamatan dari segala ujian itu selain
bersabar di atas kebenaran dengan mengedepankan sikap ilmiah, berpijak
di atas hikmah, tidak mengedepankan hawa nafsu ataupun perasaan, penuh
kehatihatian dalam menilai dan melangkah (
ta’anni), tidak mudah bereaksi, dan tidak serampangan bertindak. Tentu saja, tidak lupa memohon pertolongan dari Allah
Subhanahu wata’ala Penguasa alam semesta dan berkonsultasi dengan para ulama yang mulia.
Satu hal penting yang patut dicatat, patokan kebenaran bukanlah
banyaknya\ jumlah pengikut atau orang yang mengerjakan sebuah amalan.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
hafizhahullah berkata, “Di
antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah
mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Jadi, segala sesuatu
yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti
segelintir orang berarti salah. Inilah patokan mereka dalam hal menilai
kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar, karena
Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن
تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ ۖ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji.
Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orangorang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
dan sebagainya.” (
Syarh Masail al-Jahiliyah, hlm. 60)
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sedikitnya pengikut
suatu dakwah, tidak lazimnya cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti
kebanyakan orang), atau penampilan yang berbeda dengan keumuman,
bukanlah alasan untuk memvonis salah atau sesatnya sebuah dakwah,
lebih-lebih manakala dakwah tersebut berpijak di atas bimbingan
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
Bukankah dakwah para rasul yang mulia—di awal kemunculannya— tidak umum
dan tidak lazim di mata kaumnya?! Bukankah tidak sedikit dari para rasul
tersebut yang dimusuhi dan ditentang dakwahnya? Sebagian mereka hanya
diikuti oleh segelintir orang, bahkan sebagian lainnya tidak mempunyai
pengikut! Namun, itu semua tak mengurangi nilai dakwah yang mereka emban
dan tak menjadikan dakwah mereka divonis salah atau sesat. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُرِضَتْ
عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ،
وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ
مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat
seorang nabi yang bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi yang
bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang
pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh
rahimahumallah
berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang
berdalil dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu
selalu bersama jumlah yang banyak. Padahal tidaklah demikian adanya.
Yang semestinya adalah seseorang mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah
bersama siapa saja dan di mana saja.” (
Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm.106)
Fenomena Syahwat dan Syubhat
Di era globalisasi modern ini, syahwat dan syubhat menjadi ujian
tersendiri bagi setiap muslim yang istiqamah di atas kebenaran. Ragam
ujian itu pun benar-benar membutuhkan perjuangan dan kesabaran yang
sangat tinggi. Godaan syahwat demikian gencarnya menerpa iman dan jiwa
seseorang. Wanita dengan berbagai model dan aksen selalu mengiringi
derap langkah manusia sepanjang zaman. Penampilan yang norak dan pakaian
serba minim telah merambah putri-putri kaum muslimin.
Tak hanya kawula muda, para ibu rumah tangga sekalipun tak luput
darinya. Akibatnya, mental dan rasa malunya setahap demi setahap
terkikis seiring dengan lajunya arus modernisasi. Tak mengherankan
apabila mereka menjadi ikon utama dalam dunia iklan, baik di media cetak
maupun media elektronik. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741, dari Usamah bin Zaid
rahimahumallah)
Betapa banyak para pemuda yang tak bisa bersabar terhadap godaan
wanita. Betapa banyak para suami yang tak mampu bersabar di atas
ketaatan karena godaan sang istri. Enggan untuk istiqamah karena tak
disetujui oleh istri. Tak mau hadir di majelis-majelis taklim karena
“takut” dengan istri. Bahkan, terkadang ia siap melakukan perbuatan
maksiat; wirausaha dengan cara yang haram, mencuri, merampok, menipu,
dan semisalnya demi memenuhi tuntutanistri. Dunia dan akhiratnya rusak
akibat godaan wanita.
Wallahul musta’an.
Di antara godaan syahwat yang juga berbahaya bagi kehidupan beragama
seorang muslim adalah harta. Slogan “waktu adalah uang” menjadi prinsip
hidup sebagian orang. Berpegang teguh dengan agama akan mewariskan
kemiskinan dan kesengsaraan, dianggap suatu keniscayaan. Tak
mengherankan apabila sebagian orang ada yang menjadikan harta sebagai
tolok ukur kesuksesan dan keberhasilan. Fenomena ini sungguh telah
terjadi pada diri Qarun, seorang konglomerat di masa Nabi Musa
‘Alaihissalam yang dibinasakan oleh Allah
Subhanahu wata’ala. Menurut Qarun, limpahan harta yang ada pada dirinya merupakan bukti kesuksesan dan keridhaan Allah
Subhanahu wata’ala kepadanya, sedangkan Nabi Musa q dan yang bersamanya tidak mendapatkan keridhaan dari Allah
Subhanahu wata’ala karena tak sukses dari sisi harta. Maka dari itu, Allah
Subhanahu wata’ala membantah persangkaan Qarun yang batil itu dengan firman-Nya
Subhanahu wata’ala,
أَوَلَمْ
يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ
هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن
ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Apakah dia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih
banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang
yang jahat itu tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 78)
Ujian harta ternyata tidak hanya menerpa orang awam atau anak jalanan
semata, tetapi orang berilmu pun nyaris terancam manakala orientasi
hidupnya adalah dunia. Di mana ada “lahan basah” dia pun ada di sana,
walaupun harus mengikuti keinginan
big boss-nya yang kerap kali
tak sesuai dengan syariat dan hati nuraninya. Syahdan, ketika hawa nafsu
telah membelenggu fitrah sucinya, ayat-ayat Allah
Subhanahu wata’ala
(agama) dia jual dengan harga yang murah dan manhaj (prinsip agamanya)
pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup atau kemapanan ekonomi.
Dengan tegas Allah
Subhanahu wata’ala memperingatkan orang-orang berilmu dari perbuatan yang tercela itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ
بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا
يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ () أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا
الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا
أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke
dalamperutnya melainkan api. Allah tidak akan berbicara kepada mereka
pada hari kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa
yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk dan (membeli) siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menghadapi api neraka!” (al-Baqarah: 174—175)
Ada hal penting yang patut diperhatikan. Sikap selektif dan sensitif
dalam mendapatkan harta harus selalu dimiliki oleh setiap muslim, baik
untuk kehidupan pribadi maupun kepentingan dakwahnya. Tidak asal comot.
Tidak pula pakai prinsip “aji mumpung”. Mumpung ada dana, diterima
sajalah!? Tanpa mencermati dari mana datangnya dana tersebut, apa latar
belakangnya, dan apa pula efek setelah mendapatkannya, baik yang
berkaitan dengan dirinya maupun dakwah secara umum.
Langkah-langkah di atas seyogianya ditempuh oleh setiap muslim
sekalipun dana tersebut berasal dari lembaga/yayasan yang bergerak di
bidang keagamaan atau bahkan yang mengatasnamakan Ahlus Sunnah. Betapa
banyak lembaga/yayasan yang bergerak di bidang keagamaan atau yang
mengatasnamakan Ahlus Sunnah, realitasnya jauh panggang dari api.
Sudahkah kita bersabar menghadapi kondisi yang semacam ini? Marilah kita
menengok kesabaran diri, mudahmudahan taufik dan inayah Allah
Subhanahu wata’ala selalu bersama kita.
Amiin…
Adapun godaan syubhat yang berupa kerancuan berpikir tak kalah
dahsyatnya dengan godaan syahwat. Aliran-aliran sesat yang
mengatasnamakan Islam bermunculan, kesyirikan dipromosikan tanpa ada
halangan, para dukun alias orang pintar dijadikan rujukan, ngalap berkah
di kuburan para wali menjadi tren wisata religius (agama), dan praktik
bid’ah (sesuatu yang diada-adakan) dalam agama meruak dengan dalih
bid’ah hasanah. Semua itu mengingatkan kita akan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam,
بَادِرُوا
بِا عْألَْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ
الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ
كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang)
fitnah-fitnah (ujian dan cobaan) layaknya potongan-potongan malam. Di
pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan
kafir. Di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam
keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya)
dunia ini.” (HR. Muslim no.118, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al- Madkhali
hafizhahullah berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang jujur lagi tepercaya telah memberitakan kepada kita dalam banyak haditsnya, termasuk hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu
(di atas, -pen.) tentang bermunculannya ragam ujian di tengah umat.
Sungguh, telah datang berbagai ujian besar yang sangat kuat menghempas
akidah dan manhaj (prinsip beragama) umat Islam, mencabik-cabik keutuhan
mereka, menyebabkan pertumpahan darah antarmereka, dan menjatuhkan
kehormatan mereka. Bahkan, benarbenar telah menjadi kenyataan (pada umat
ini) apa yang disabdakan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبِعْتُمُوْهُمْ
‘Sungguh kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani, -pen.
)
sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta1. Sampai-sampai
jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di
padang pasir, -pen.
) pasti kalian akan mengikutinya’.”
Lebih lanjut, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali
hafizhahullah berkata,
“Saat ini di banyak negeri kaum muslimin muncul berbagai keburukan,
seperti komunis, liberal, sekuler, sosialis, dan demokrasi dengan segala
perangkatnya. Kelompok sesat Syiah Rafidhah dan Khawarij pun semakin
gencar mengembuskan racun-racun yang dahulu mereka sembunyikan.
Sebagaimana pula telah muncul kelompok sesat Qadiyaniah dan Bahaiah.” (
Haqiqah al-Manhaj al- Wasi’ ‘Inda Abil Hasan, hlm. 2)
Di era globalisasi modern ini, keberadaan ujian syahwat dan syubhat
semakin mengglobal. Terpaannya pun semakin dahsyat terhadap iman dan
jiwa seseorang. Bagaimana tidak?! Ragam godaan syahwat dan syubhat dari
manca negara dengan mudah dapat disaksikan di berbagai kanal televisi.
Terlebih lagi di internet, semuanya dapat diakses secara bebas dan
mudah. Bahkan, di dunia maya, semua orang—termasuk “pegiat dakwah”—dapat
berkenalan dan bertemandengan siapa saja secara bebas dalam ajang FB (
facebook)
yang mengerikan itu. Para pencinta syahwat terfasilitasi untuk
mengumbar syahwatnya. Demikian pula para penjaja syubhat terfasilitasi
untuk menjajakan syubhatnya. Betapa banyak kasus perselingkuhan,
perceraian, dan kasus-kasus rumah tangga lainnya terjadi akibat
pertemanan bebas di
facebook. Betapa banyak pula orangorang yang
sebelumnya istiqamah di atas manhaj yang lurus menjadi melenceng akibat
pertemanan bebas di facebook itu.
Wallahul musta’an.
Akhir kata, semoga Allah
Subhanahu wata’ala
menganugerahkan kesabaran diri kepada kita sehingga dimudahkan untuk
istiqamah di atas kebenaran kala ujian dan coban menerpa.
Amiin, Ya Mujibas sailin….