Cinta dalam hidup berumah tangga adalah salah satu tiang terpenting untuk mewujudkan ketentraman dan ketenangan. Hal itu karena rasa cinta seseorang kepada pasangannya akan mendorong dia untuk memenuhi hak-hak yang wajib dia tunaikan kepada pasangannya. Sedangkan pemenuhan hak antar pasangan ini adalah faktor terpenting dalam menjaga keutuhan bangunan rumah tangga.
Manusia dalam mencintai pasangannya, memiliki perbedaan satu sama lain dalam landasan yang mendasari rasa cinta tersebut. Ada pasangan yang mendasari kecintaannya karena penampilan lahiriah, ada juga yang karena harta kekayaan, ada juga yang mendasarinya karena darah keturunan. Pada asalnya, hal itu adalah sah-sah saja selama tidak melebihi kadar yang seharusnya. Akan tetapi bagi seorang mukmin, ada satu landasan yang harus selalu mendasari kecintaannya kepada segala sesuatu. Landasan itu adalah kecintaan dia kepada Allah – ta’ala -.
Maksudnya, seorang mukmin ketika mencintai sesuatu yang dibolehkan, hendaknya dia tidak melebihkannya di atas kecintaan kepada Allah. Demikian pula ketika seorang mukmin mencintai seorang manusia, terutama pasangan hidupnya, hendaknya dia tidak mencintainya melainkan hanya karena Allah. Yakni, dia mencintai pasangannya karena keshalihan dan ketaatannya kepada Allah. Dan dia membenci pasangannya karena kemaksiatan dan kedurhakaannya kepada Allah.
Dari sini hendaknya pasangan suami istri yang beriman memperhatikan kecintaan mereka kepada Allah dan berusaha untuk menggapai kecintaan Allah kepada mereka.
Bagaimana menggapai cinta-Nya?
Secara umum, usaha untuk menggapai kecintaan Allah adalah dengan melakukan berbagai ibadah yang Allah – ta’ala – syariatkan. Karena ibadah itu pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Maka setiap orang yang melakukan salah satu bentuk ibadah, baik berupa ibadah hati, lisan ataupun anggota badan lahiriah, berarti dia sedang berusaha untuk mencintai Allah dan berusaha menggapai cinta-Nya.
Dan penting untuk diperhatikan bahwa dalam segala ibadah yang dilakukan hendaknya seorang mukmin berusaha melakukannya sesuai dengan yang dilakukan atau dituntunkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Tidak melakukannya dengan tata cara yang dibuat-buat, yang tidak ada tuntunannya dari beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Dengan inilah dia akan mendapatkan kecintaan Allah. Allah – ta’ala – berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Secara terperinci, Ibnul Qayyim – rahimahullah – telah menyebutkan sepuluh sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah – ta’ala -:
1. Membaca al-Qur`an dengan tadabbur dan berusaha memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunah setelah melakukan amalan-amalan yang wajib.
3. Senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala keadaan baik dengan hati, lisan, perbuatan maupun dengan keadaannya. Maka bagian yang dia peroleh dalam kecintaan sesuai dengan kadar dzikir yang dia lakukan.
4. Mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang dicintai oleh dirinya ketika hawa nafsu menguasai.
5. Pengetahuan dan persaksiannya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah – ta’ala -. Karena barangsiapa yang mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai Allah.
6. Mempersaksikan kebajikan dan kebaikan-Nya serta karunia dan nikmat-Nya yang sangat banyak baik yang lahir maupun batin. Maka ini akan mendorong kita untuk mencintai-Nya.
7. Ketundukan dan kerendahan hati secara utuh di hadapan Allah – ta’ala -.
8. Berkhulwat (menyendiri) bersama Allah di waktu turun-Nya ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, untuk bermunajat kepadanya, membaca firman-Nya, mengkonsentrasikan hati, dan beradab dengan adab-adab penghambaan di hadapan-Nya, kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat.
9. Duduk bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah dan jujur dalam kecintaannya, serta memetik buah perkataan-perkataan mereka yang baik. Dan tidak berbicara (di tengah-tengah mereka) kecuali jika ada mashlahat dan manfaatnya bagi dia dan orang lain.
10. Menjauhi segala hal yang bisa menjadi penghalang antara hati dengan Allah.
Buah menggapai cinta-Nya
Orang yang benar dan jujur dalam kecintaannya kepada Allah maka dia akan mendapatkan kecintaan Allah kepadanya dan Allah akan mengampuninya. Allah berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Dan jika seseorang telah dicintai oleh Allah, maka dia akan mendapatkan taufik dari Allah – ta’ala – dalam segala tindak-tanduknya. Sehingga penglihatan, pendengaran, tangan dan kakinya akan diarahkan kepada segala sesuatu yang Allah cintai. Jika dia meminta sesuatu kepada-Nya, Dia pasti akan memberinya. Jika dia berlindung kepada-Nya, Dia pasti akan melindunginya.
Maka seandainya sepasang suami istri telah menggapai kecintaan Allah, tidaklah mustahil jika Allah akan memberikan kemudahan kepada mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam keluarga. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, sepasang suami istri ini akan mendapatkan kecintaan dari pasangannya. Karena ketika mereka sungguh-sungguh dalam mencintai Allah, maka Allah akan menumbuhkan kecintaan di antara mereka.
Sumber: Rubrik Lentera 2, Majalah Sakinah Vol. 8 No. 11
Blogger Comment
Facebook Comment