Pengelolaan budidaya air payau (tambak) di Indonesia tidak bisa disamakan teknik pengelolaannya, ini disebabkan karena hampir 30 % lokasi tambak di Indonesia merupakan tambak tanah sulfat masam, karena itu pengelolaannya harus disesuaikan dengan kondisi tersebut.
Tanah sulfat masam terdapat di sebagian besar Pulau Kalimantan, sebagian Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera.
Tanah sulfat masam adalah sedimen pantai yang mengandung suatu mineral yang disebut pirit (FeS2), biasanya sedimen dalam kondisi anaerob dan berada dibawah lapisan tanah pada kedalaman sekitar 30 cm yang tergolong tanah muda (alluvial) dari hasil endapan setelah terjadi banjir dan pasang tinggi, letak pertikal lapisan tanah yang mengandung pirit sampai dekat dengan muka laut rata-rata.
Pada saat terangkat untuk keperluan konstruksi pada budidaya udang dan ikan (pembuatan pematang, pengairan dan pengangkatan lumpur), maka pirit akan teroksidasi dan selanjutnya menghasilkan asam sulfat. Asam yang terlepas dari pirit menyebabkan kemasaman tanah, air tambak dan meningkatkan kelarutan logam yang beracun.
Secara umum bahwa tanah sulfat masam berada pada daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut, namun lebih khusus lagi pada daerah mangrove, rawa pantai, dataran pantai dan pada berbagai lahan basah yang dekat dengan laut dan muara sungai.
Tambak udang yang dibangun pada tanah sulfat masam biasanya menunjukan hasil panen yang rendah, kematian massal udang dan biaya pengelolaan yang tinggi, beberapa kegiatan budidaya gagal atau produktivitas rendah.
Dengan berbagai pendekatan praktis, tanah sulfat masam dapat diindentifikasi di lapangan, untuk membantu pelaku utama perikanan agar mereka dapat menentukan keberadaan tanah sulfat masam pada lahan mereka.
Tanah sulfat masam dapat menyebabkan berbagai masalah produksi antara lain; laju pertumbuhan udang/ikan rendah, kematian masal pada udang/ikan, adanya partikel besi pada insang, tingkat kepadatan alga yang bermanfaat rendah, kebutuhan kapur dan pupuk yang tinggi, kondisi stok udang/ikan yang rendah, kerusakan dan kebocoran pematang tambak, toksisitas hidrogen sulfida, suspensi partikel besi dalam air, pH rendah dan alkalinitas air yang rendah.
Jika pada lahan pelaku utama perikanan terdapat dua atau lebih masalah produksi tersebut, maka kemungkinan bahwa lahan tambak tersebut termasuk tanah sulfat masam. Beberapa indikator biologis dan indikator tanah yang menunjukan keberadaan tanah sulfat masam di daerah panta adalah :
Tumbuhan Nipah yang tumbuh pada daerah jangkauan pasang surut, menandakan bahwa tanah sulfat masam ada pada lahan.
Tanaman mangrove berupa kalipata/buta-buta, rambai, jeruju, beluntas dan pakis air/piai menandakan adanya sulfat masam.
Adanya gundukan tanah hasil buangan kepiting lumpur/undang ayu.
Rumput teki merupakan rumput rumputan yang lazim ditemukan dan sangat beradaptasi dengan lingkungan yang mengandung tanah sulfat masam.
Hutan dengan komposisi vegetasi di daerah pantai dan estuarin juga kemungkinan mengandung tanah sulfat masam.
Jarosit mineral warna kuning terjadi bila tanah teroksidasi.
Warna abu-abu dari tanah hasil galian, merupakan ciri khas dari pirit (FeS2).
Rendahnya pH lapang dan pH setelah oksidasi.
Indikator biologis keberadaan tanah sulfat masam :
Jika pada lahan pertambakan telah ditemukan beberapa indikator seperti mangrove, nipah, jarosit, pH tanah
Langkah pengelolaan yang harus dilakukan, jika sudah diyakini kalau tambak yang dikelola adalah tambak sulfat masam, maka beberapa alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan :
Jika memungkinkan, bangun kembali pematang tambak dengan mencampurkan kapur pada tanah yang akan digunakan.
Hindari pengangkatan material dasar yang mengandung pirit ke atas pematang atau jika memungkinkan gunakan tanah yang bukan tanah sulfat masam.
Hindari penelantaran tambak dalam waktu yang lama, jika tidak akan digunakan dalam jangka waktu yang lama, biarkan tambak terus dalam kondisi tergenang.
Perhatikan aspek keteknikan dalam konstruksi pematang (tinggi, panjang, serta lebar pematang).
Gunakan tabel standart pengapuran untuk tanah sulfat masam dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) atau minta petunjuk dari instansi terkait.
Upayakan untuk menumbuhkan rumput atau vegetasi lain yang dapat membantu mengurangi oksidasi.
Gunakan pupuk dengan dosis yang sesuai beberapa hari setelah pengapuran untuk menjaga agar pupuk yang diberikan betul-betul dapat bermanfaat bagi pertumbuhan alga atau plankton yang bermanfaat.
Jika besi nampak pada air tambak, upayakan pembilasan untuk mengencerkan konsentrasi besi hidroksida yang berbahaya tersebut.
Perhatikan juga beberapa syarat teknis budidaya, misalnya kondisi dan sumber benur, aklimatisasi, pemberian pakan dan pengontrolan penyakit.
Selain memperhatikan hal-hal tersebut diatas sebelum pelaksanaan pemeliharaan, tambak tanah sulfat masam perlu dilaksanakan kegiatan pendahuluan yakni :
Remediasi.
Remediasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi unsur-unsur toksik di tanah atau di air tanah, prinsif remediasi adalah pengeringan tanah untuk mengoksidasi pirit, perendaman untuk melarutkan dan menetralisir keasaman atau menurunkan produksi keasaman lanjut, dan pencucian untuk membuang hasil oksidasi dan meminimalkan cadangan unsur-unsur toksik dalam tanah.
Sebelum tanah tambak sulfat masam diremediasi, pematang dan pintu air diperbaiki, tanah pelataran tambak dicangkul sedalam 20-30 cm agar permukaan tanah bertambah luas sehingga proses oksidasi lebih baik.
Pengeringan tanah pelataran tambak dilakukan selama 2 minggu atau lebih tergantung terik matahari, oleh karena itu disarankan agar pengeringan tanah tambak dilakukan pada musim kemarau dan kondisi surut rendah.
Selanjutnya tambak diisi air, usahakan air yang bersalinitas tinggi > 15 ppt dengan tinggi air sampai 50 cm. Biarkan tambak terendam selama 1 minggu dan air rendaman dibuang, selanjutnya diiisi kembali seperti tadi, kemudian dibuang kembali. Ulangi proses remediasi sebanyak 2 atau 3 kali sampai kondisi tanah sudah lebih baik.
Usahakan air rendaman dibuang pada saat surut rendah agar air rendaman yang mengandung unsur-unsur toksik dapat terbilas sempurna.
Apa hasil remediasi?; Pada saat tanah sulfat masam terjemur, terjadi oksidasi pirit dan pada saat direndam hasil oksidasi akan larut dalam air rendaman dan selanjutnya akan terbuang bersama air buangan. Dengan melakukan proses tersebut berulang kali, maka unsur-unsur toksik yang juga merupakan unsur penyebab kemasaman tanah dapat berkurang, akibatnya pH tanah meningkat ke netral (sekitar 6).
Dengan kondisi demikian, maka pupuk yang diberikan akan lebih efisien, sebab unsur hara akan lebih tersedia untuk pertumbuhan makanan alami seperti plankton dan klekap. Berkurangnya unsur-unsur toksik dapat meningkatkan sintasan dan pertumbuhan ikan yang dibudidayakan, dengan melimpahnya makanan alami dan kualitas lingkungan yang lebih baik berdampak pada peningkatan produktivitas tambak, terutama tambak yang dikelola dengan teknologi tradisional dan teknologi madya.
Pengapuran
Tanah sulfat masam yang mengandung unsur-unsur toksik seperti Al, Fe dan Mn, dapat diatasi dengan pemberian kapur yang berfungsi; meningkatkan pH, mengurangi aluminium dan besi, meningkatkan ketersediaan unsur fosfor, kalsium dan magnesium, meningkatkan persentase kejenuhan basa dan memperbaiki total alkalinitas di air.
Pengapuran tambak tidak hanya dilaksanakan di pelataran saja, ternyata pengapuran pada pematang sangat berpengaruh terhadap pengurangan unsur-unsur toksik. Hasil penelitian menunjukan bahwa teroksidasinya senyawa pirit (FeS) yang paling intensif pada tambak tanah sulfat masam terjadi pada gundukan tanah hasil galian seperti; pematang tambak, gundukan tanah pada lubang kepiting lumpur (Thalassina anomala). Oleh karena itu pematang menjadi fukos perhatian dalam mengaplikasian kapur dibandingkan dengan dasar pematang yang senantiasa terendam selama kegiatan budidaya.
Kapur yang baik digunakan berupa kapur karbonat seperti kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2), Kapur oksida atau kapur tohor (CaO) dan kapur hidrat atau kapur tembok (Ca(OH)2. Biasanya dolomit dan kalsit yang lebih umum digunakan oleh petani tambak, kapur dolomit memiliki pengaruh lebih lama, mudah diperoleh, tidak meninggalkan residu dan kecepatan reaksi lebih lambat.
Penggunaan kapur biasanya berdasarkan nilai pH tanah dan tekstur tanah, dengan metode langsung disebar secara merata pada dasar tambak dan permukaan pematang. Metode lain yang telah diujikan adalah dengan menghitung kebutuhan kapur berdasarkan persentase sulfur yang dapat teroksidasi yang merupakan indikator potensi kemasaman pada tanah tambak sulfat masam. Metode ini terutama diperuntukan pada konstruksi awal pematang atau pada saat proses perbaikan pematang (kedok teplok), sedangkan untuk dasar tambak tetap mengacu pada metode disebar langsung secara merata.
Kebutuhan kapur tanah pematang berdasarkan nilai pH dan Sulfur (Spos)
pH
|
Spos (%)
|
Kg kapur/ton
Tanah yg dibutuhkan
Faktor aman=1,5
|
Perkiraan Biaya/meter
Lari pematang
(Rp.)
|
0-3
|
0,02
|
0,94
|
1.110
|
0,03
|
1,4
|
1.654
|
0,06
|
2,8
|
3.308
|
0,10
|
4,7
|
5.552
|
0,20
|
9,4
|
11.104
|
0,30
|
14,0
|
16.538
|
>3-5
|
1,00
|
46,8
|
55.283
|
5,00
|
Biaya konstruksi tinggi
|
>5
|
>5,00
|
Tidak direkomendasikan
|
Sumber : BRPBAP Maros
Keterangan :
- Kg kapur yang dibutuhkan = kg CaCo3/ton material
- Biaya/meter lari = perhitungan untuk pematang lebar atas 1,0 m, tinggi 1,5 m dan lebar dasar 2,5 m lama aplikasi efektip 4 tahun; berat jenis = 1 g/cm3 atau volume 1 m lari pematang = 2,62 ton, harga kapur = Rp.450,-/kg.
- pHf = pH tanah yang diukur langsung di lapangan pHfox = pH tanah yang diukur di lapangan setelah ditambahkan hidrogen peroksida (H2O2)30 %.
Pembesaran komoditas perikanan di Tambak Tanah Sulfat Masam :
1. Udang Windu
Perbaikan tanah dengan cara remediasi yang meliputi pengeringan, perendaman, pencucian dan pengapuran dilakukan sebelum persiapan tambak. Pada tahap pengapuran, dosis kapur yang digunakan adalah 1.000-1.875 kg/ha.
Dalam persiapan tambak dilakukan pemberantasan hama dengan saponin 20 mg/l dan pemupukan urea dan TSP masing-masing 100 kg/ha. Selama pembesaran dilakukan penggantian air sebesar 40% dari volume pada saat pasang tinggi dan pemupukan susulan sebesar 10% dari pupuk dasar setiap 10 hari sampai pemeliharaan 2 bulan.
Pakan buatan dengan dosis 10-2% bobot badan/hari diberikan setelah pemeliharaan 2 bulan dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari. Dengan menebar tokolan udang windu (PL 35) rata-rata 12.850 ekor/ha, dapat diperoleh produksi rata-rata 176 kg/ha dengan sintasan 49% dan bobot rata-rata 28 g/ekor setelah dipelihara selama 102 hari.
2. B a n d e n g
Dalam persiapan tambak dilakukan pengeringan tanah sampai retak-retak, pemberantasan hama dengan saponin dosis 20-30 mg/l, pemupukan urea dan TSP masing-masing 100-200 kg/ha.
Sebelum persiapan tambak dilakukan perbaikan tanah melalui remediasi, padat penebaran yang diterapkan 6.000 ekor/ha. Pergantian air dilakukan setiap menjelang pasang tinggi, pemupukan susulan dilakukan 10 hari setelah penebaran dengan dosis 10% dari dosis pupuk dasar sampai pemeliharaan bandeng berumur 2 bulan.
Pemberian pakan berupa pellet dilakukan pada umur 2 bulan hingga panen dengan dosis pakan yang diberikan 10-2% dari bobot badan/hari yang diberikan 3 kali/hari. Setelah pemeliharaan selama 120 hari diperoleh produksi 1.270 kg/ha dengan sintasan 92 % dan bobot rata-rata 230 g/ekor.
3. Nila
Setelah remediasi tanah, dilanjutkan dengan pemberantasan hama dengan saponin dosis 20-30 mg/l, pengapuran pada dasar tambak dengan dosis 2 ton/ha dan pematang tambak 0,5 kg/m. Pemupukan urea dan TSP masing-masing dengan dosis 100-200 kg/ha. Tinggi air tambak dipertahankan antara 80-100 cm.
Nila jantan (kelamin tunggal) dengan bobot rata-rata 6 g/ekor ditebar dengan kepadatan 6.000 ekor/ha. Pemberian pakan tambahan berupa pellet dilakukan setelah persediaan pakan alami di tambak tidak mencukupi. Dosis pakan yang diberikan 20-2% bobot badan/hari yang diberikan 2 kali/hari. Produksi nila merah setelah dipelihara selama 120 hari mencapai 415 kg/ha.
4. Kepiting Bakau
Tambak terlebih dahulu dipasangi pagar bambu pada bagian dalam pematang setinggi 1,25 m diatas pelataran tambak dan 50 cm tertanam pada dasar tambak. Setiap petak diberi ban bekas 10 buah/1.000 m2 sebagai pelindung.
Dalam persiapan tambak dilakukan pemberantasan hama dengan saponin dosis 20 mg/l, pengapuran dosis 2 ton/ha, pemberian pupuk urea dan TSP masing-masing 200 kg/ha dan 100 kg/ha.
Kepiting bakau dengan berat awal 28 g/ekor ditebar dengan kepadatan 1 ekor/m2. Rasio jantan : betina 1 : 1. Pakan yang diberikan berupa ikan rucah kering sebanyak 5% berat badan/hari. Pergantian air dilakukan setiap hari sekitar 10% dari volume total secara gravitasi
Pengapuran sebanyak 2 kg/m2 pematang ditebar merata pada pematang, dilakukan setiap 2 minggu. Berat kepiting bakau setelah dipelihara selama 98 hari dapat mencapai 166 g/ekor