Games

Showing posts with label kisah sukses. Show all posts
Showing posts with label kisah sukses. Show all posts

Jejak Sang Ayah, Sukses Jadi Suplier Gurame





Berawal dari usaha sang ayah, Sojo Arnowo yang memiliki lapak ikan laut dan ikan gurame di Pasar Kobong, Semarang, Bayu Arinda Perdana memulai bisnis suplier-nya yakni ikan gurame yang kini sudah berjalan tujuh tahun. Waktu itu, dia yang masih kuliah di jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, membidik peluang untuk menyalurkan gurame hidup yang masih segar kepada restoran-restoran yang saat itu mengambil ikan di lapak orang tuanya.

Ikan gurame hidup diambilnya dari Tulungagung, karena kontinuitas stok dan kualitas relatif terjaga dibandingkan dengan daerah lain. Dua hari sekali pengangkutan dilakukan satu ton, sehingga satu bulan paling sedikit bisa mencapai 15 ton. Selanjutnya ada yang langsung dikirimkan kepada pemesan dan ada pula yang disimpan dulu di kolam penampungan. Minat pemesan gurame hidup ini memang semakin banyak, karena dari segi rasa saat diolah pun berbeda dari gurami yang dalam kondisi mati ketika dibeli.

Menurut anak sulung dari tiga bersaudara ini, pangsa pasar gurame memang masih terbuka luas. Apalagi olahan gurame menjadi salah satu menu favorit pengunjung di semua restoran. Tidak hanya itu, ritel besar semacam Lotte Mart, Carrefour atau Hypermart pun memeroleh suplai gurami segar melalui perusahaan yang dikelola Bayu di rumahnya di Jalan Kapas Tengah V/F 761, Semarang.

Paling banyak memang restoran dan ritel-ritel besar, kalau hotel tidak banyak karena cashflow-nya agak susah. Pembayaran biasanya sampai berbulan-bulan, ungkapnya.

Meski disuplai dari Tulungagung yang notabene produksi tambak melimpah, tidak bisa dipungkiri ada juga kendala yang dialami. Sebab, ada saat-saat tertentu petani tambak juga mengalami gagal panen. Jika sudah begitu, harga ikan pun sangat berfluktuasi dan terkadang Bayu pun harus mengambil gurame segar dari daerah lain seperti Sragen dan Banjarnegara. Apalagi saat-saat puncak permintaan sangat tinggi seperti puasa, Lebaran serta Natal dan akhir tahun.


Tinggalkan Suap-menyuap Pintu Rezeki Kan Terbuka !





Ada seorang kawan bercerita tentang seorang pedagang di Saudi Arabia. Pada awal dia meniti karir dalam bisnis, dulunya dia bekerja di sebuah pelabuhan di negeri ini. Semua barang-barang perniagaan yang akan masuk harus melalui dia dan mendapatkan tanda tangannya. Dia tidak suka kepada orang yang main kolusi dan suap-menyuap. Tetapi dia tahu bahwa atasannya senang mengambil uang suap. Sampai akhirnya teman kita yang satu ini didatangi oleh orang yang memberitahunya agar tidak terlalu keras dan mau menerima apa yang diberikan oleh penyuap untuk mempermudah urusannya.

Setelah mendengar perkataan tersebut, dia gemetar dan merasa takut. Ia lalu keluar dari kantornya, sementara ke-sedihan, penyesalan dan keraguan terasa mencekik lehernya. Hari-hari mulai berjalan lagi, dan para penyuap itu datang kepadanya. Yang ini mengatakan, ‘Ini adalah hadiah dari perusahaan kami’. Yang satu lagi bilang, ‘Barang ini adalah tanda terima kasih perusahaan kami atas jerih payah Anda’. Dan dia selalu mampu mengembalikan dan menolak semuanya. Tetapi sampai kapan kondisi ini akan tetap ber-langsung?!

Dia khawatir suatu waktu mentalnya akan melemah dan akhirnya mau menerima harta haram tersebut. Dia berada di antara dua pilihan; meninggalkan jabatannya dan gajinya atau dia harus melanggar hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mau menerima suap. Karena hatinya masih bersih dan masih bisa meresapi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dia berkata, ‘Tak lama setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan untukku kapal kargo yang kecil. Aku pun memulai bisnisku, mengangkut barang-barang. Lalu Allah mengaruniakan kapal kargo lain lagi. Sebagian pedagang mulai memintaku untuk mengangkut barang-barang perniagaan mereka karena aku memang sangat hati-hati, seolah-olah barang-barang itu milikku sendiri.

Di antara kejadian yang menimpaku adalah sebuah kapal kargoku menabrak karang dan pecah. Penyebabnya, karena sang nahkoda tertidur. Dia meminta maaf. Tanpa keberatan aku memaafkannya. Maka merasa heranlah seorang polisi lalu lintas laut karena aku begitu mudah memaafkan orang. Dia berusaha berkenalan denganku. Setelah berlangsung beberapa tahun, polisi itu bertambah tinggi jabatannya. Saat itu datang barang-barang perniagaan dalam jumlah besar. Dia tidak mau orang lain, dia memilihku untuk mengangkut barang-barang tersebut tanpa tawar menawar lagi.

Pembaca yang budiman, lihatlah, bagaimana pintu-pintu rizki terbuka untuknya. Sekarang dia telah menjadi seorang saudagar besar. Kepedulian sosial dan santunannya bagi orang-orang miskin begitu besar. Begitulah, barangsiapa meninggalkan suatu maksiat termasuk tindakan suap dan menerima suap dengan ikhlas karena Allah, niscaya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5/363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Begitu pula ingatlah janji Allah bagi orang yang bertakwa yaitu akan diberi rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Dari ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, beliau menafsirkan ayat tersebut, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah maka Allah akan menyelamatkannya dari kesusahan dunia dan akhirat. Juga Allah akan beri rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14/32)

Ingat pula tentang bahaya suap sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok itu haram berdasarkan ijma› (kesepakatan ulama). Jadi terlarang, meminta suap, memberi suap, menerima suap dan menjadi penghubung antara penyaup dan yang disuap.

Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 18 Ramadhan 1432 H

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Rubrik Kisah Edisi 21/2011

Raja Lele, Raup Untung Dari Usaha Kuliner Lele

Makanan olahan ikan lele sudah sangat tenar di Indonesia. Sebagai makanan yang digemari semua kalangan, peluang usaha makanan ini terbuka lebar. Makanya, banyak pengusaha kuliner memilih makanan olahan lele sebagai ladang penghidupan. Salah satu pemain bisnis ini adalah Ferry yang mengusung brand Raja Lele di Bekasi, Jawa Barat.
Mendirikan usaha sejak tahun 2008, mulai tahun 2011 lalu ia resmi menawarkan kemitraan usaha. Hingga kini, Raja Lele telah memiliki lima gerai yang berlokasi di Jakarta dan Bekasi.
Hingga kini Raja lele telah memiliki lima gerai. “Tiga gerai di antaranya adalah milik saya dan seluruhnya berlokasi di Bekasi,” ujar Ferry. Sedangkan dua lainnya merupakan milik mitra yang berlokasi di Jakarta.
Raja Lele menawarkan beberapa menu olahan ikan lele, seperti lele bakar, lele goreng, lele kremes, lele lada hitam, lele mayonaise, omelet lele, dan sup bola lele. Di luar lele ada juga menu makanan ringan, seperti otak-otak, siomay, hingga rolade. “Kami memiliki sekitar delapan varian sambal dan aneka bentuk olahan lele,” ujar Ferry.
Selain variasi olahannya banyak,lele olahannya juga memiliki ukuran agak besar dengan rasa yang gurih. Sementara, minuman yang ditawarkan ada es campur, es cendol, mocafrio, hingga sop buah.
Aneka menu makanan dan minuman di Raja Lele itu dibanderol mulai Rp 7.000 hingga Rp 20.000. Namun, mitra masih bisa menaikkan harga sesuai dengan lokasi.
Dalam kerjasama kemitraan ini, Raja Lele menawarkan dua paket investasi. Pertama, paket senilai Rp 4,5 juta. Pada paket ini mitra akan mendapatkan pelatihan, peralatan masak, cool box, brosur dan spanduk, serta seragam karyawan.
Untuk operasional, mitra juga akan mendapatkan peralatan makan, serta bahan baku awal untuk lele, ayam sambal, otak-otak dan rolade. Selain itu, ada juga pelatihan, pendampingan, konsultasi usaha, dan konsultasi set up interior.
Kedua, paket senilai Rp 9 juta. Dalam paket ini, fasilitas peralatan dan bahan baku awal yang diberikan lebih banyak. “Di dalam paket Rp 9 juta ini, mitra juga akan mendapatkan booth,” ujar Ferry.
Ia mengestimasikan mitra bisa memperoleh omzet Rp 9 juta per bulan. Dengan laba bersih 50%, mitra diperkirakan bisa balik modal dalam waktu kurang dari enam bulan. Untuk kedua paket tersebut, Ferry tidak memungut biaya royalty fee bagi mitranya.

Rosa Rosalita, Ibu Rumah Tangga Pebisnis Lele Organik

Menjadi ibu rumah tangga memang sudah pilihan Rosa Rosalita. Maklum kerja kantoran selain mengikat dengan jam kerja, dia juga ingin membesarkan anak-anak dengan pengawasannya sendiri. Alhasil lulusan akunting STIE YPKP Bandung ini mengisi harinya dengan browsing di internet melihat peluang usaha dari rumah.
Singkat cerita, hasratnya untuk mejadi entrepreneur akhirnya bisa diwujudkan setelah fokus pada pencarian tentang lele organik. Jujur saja, akunya, melihat bentuk lelenya saja dia sudah takut. Tapi setelah mempelajari keuntungan bisnis yang bisa diraupnya maka setahun terakhir ini Rosa Rosalita justru menjadi entrepreneur sebagai peternak lele organik.
Bermodal biaya kursus Rp 1 juta, Rosa serius mengikuti pelatihan selama tiga hari di Sangkuriang, Gadok Bogor, Jawa Barat. Dia makin percaya diri ketika kursus karena ternyata pesertanya datang dari seluruh Indonesia dan banyak yang pengetahuannya juga nol soal lele.
Usai kursus ilmu yang diperoleh langsung diterapkannya di lahan tidur belakang rumahnya sendiri di kawasan Graha Raya, Bintaro Tangerang Selatan. Tanah seluas seribu meter persegi ia gunakan untuk membuat bak berlapis terpal tempat ternak benih lele.
Kini Rosa cukup di kenal sebagai pembenih di kalangan pengusaha lele.“Harga lele murah meriah terjangkau semua lapisan dan menjadi penganan alternatif bagi masyarakat ketimbang mengkonsumsi daging sapi dan ayam,” kata ibu tiga anak kelahiran Bandung 20 November 1969 itu.
Rosa mengatakan memilih bisnis lele karena tidak hanya hanya memiliki peluang namun juga banyak menyerap tenaga kerja. Selain cepat menghasilkan, pemeliharaan dan pemasarannya juga mudah. Memanfaatkan lahan minim, hanya dengan luas 1 meter x 1 meter danbibit dan pakan, sudah bisa beternak lele skala kecil. Untuk pengobatan lele tersedia ramuan herbal alami yang berguna untuk menjaga kulitas lele. Jenis penyakit lele seperti radang kulit.
Menyinggung soal profesi sebagai peternak ikan yang bisanya dilakoni kaum pria ini, Rosa mengatakan kuncinya adalah tekun menggeluti seluk beluk bisnis ini. Dia tergolong anggota yang aktif di Asosiasi Lele Sangkuriang Indonesia .
“Di asosiasi hanya ada tiga perempuan termasuk saya. Semuanya laki-laki yang tadinya pengangguran, korban PHK atau bapak-bapak yang mau pensiun kerja,” jelasnya soal dunia lele yang kini ditekuninya itu..
Ternak lele memang tidak begitu rumit asalkan dirawat dengan tekun hingga masa panen. Investasinya terjangkau dan untuk benih dalam sebulan sudah bisa di panen. Sedangkan untuk jual daging masa panen cukup singkat yakni tiga bulan. Lele sangkuriang ini merupakan perbaikan genetik melalui silang balik antara induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dan jantan lele dumbo generasi keenam (F6).
Induk betina (F2) berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada 1985 oleh Bala Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nama sangkuriang yang diberikan itu memang diambil dari legenda Tanah Pasundan untuk menandakan lokasi asal pembiakan lele jenis tersebut.
Menurutnya, ternak lele Sangkuriang saat ini tengah diminati oleh para pelaku usaha. Pasalnya, dengan modal yang sangat murah para peternak bisa meraup untung yang tidak sedikit dari bisnis ini. Selain karena usia panen lele jenis ini lebih pendek dibandingkan lele umumnya.
“Jadi pembudidayaannya juga bisa dilakukan di mana saja.sementara pemasarannya terbuka lebar, seperti restoran dan hotel. Jika tidak memiliki pasar, peternak dapat menjualnya pada saya,” katanya.
Lele di kolamnya tak ada yang disuntik. Air kolampun mampu bertahan selama setahun tidak pernah dibersihkan dengan formalin. Lele ikan air tawar organik itu rasanya gurih, nikmat dan menyehatkan, karena kaya kandungan Omega 3 yang bermanfaat untuk kecerdasan.
Untuk sekali panen dalam empat kali pemijahan benih atau musim telur maka dalam sebulan dia bisa menghasilkan 60-80 ribu ekor benih. Ukuran benih usia 1 bulan-35 hari sudah mencapai 7-8 cm dengan harga per ekor bibit Rp 250. Nah siapa mau ikut mengekor kesuksesan Rosa ?

Bisnis Lele Piton Tak Butuh Modal Besar

Hanya butuh waktu dua bulan budidaya untuk memanen lele piton siap konsumsi. Sekali panen, keuntungan bersih yang masuk kantong bisa sampai Rp 50 juta. Daging ikan berkumis ini juga dapat diolah menjadi kerupuk dan abon.
Lele piton tidak hanya gampang dipelihara. Modal membudidayakan ikan berkumis dengan badan bongsor terebut juga tak besar-besar amat, kok. “Tidak banyak dana yang diperlukan untuk memulai bisnis lele piton,” ungkap Ludvi Dwipayono, pembudidaya lele piton di daerah Bekasi, Jawa Barat.
Empat tahun lalu, Ludvi memulai usaha budidaya ikan hasil persilangan lele dumbo dan lele thailand ini dengan modal sebesar Rp 1 juta. Uang itu untuk ongkos pembuatan kolam budidaya dan pembelian sekitar 500 bibit lele piton.
Harga bibit lele piton sangat terjangkau. Ashari Ramadhan, pembudidaya lele piton di Cirebon, Jawa Barat, mengatakan, harga bibit ikan bernama latin Clarias batrachus ukuran 3-5 cm Rp 125 per ekor. Sedang, untuk ukuran 7-8 cm harganya Rp 150 seekor dan ukuran 9-10 cm seharga Rp 175 per ekor. Dengan catatan, minimal pembelian sebanyak Rp 500.000.
Adapun harga induk lele piton, yang terdiri dari dua pejantan dan tiga ekor betina seberat masing-masing seberat 1 kg, sekitar Rp 800.000. Kelebihan membeli induk lele piton, mereka mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang banyak.
Ashari bahkan menjamin telur yang dihasilkan bisa mencapai 100.000 sekali bertelur. Itu sebabnya, “Permintaan masyarakat selama ini masih didominasi oleh induk ketimbang bibit untuk dibesarkan hingga siap konsumsi,” katanya.
Biasanya, Ashari mengungkapkan, bibit lele piton dipanen ketika panjangnya sudah mencapai 7 cm hingga 10 cm. Waktu budidaya dari telur hingga bibit tersebut antara dua sampai tiga minggu.
Adapun panen lele piton hingga siap konsumsi, menurut Ashari, butuh waktu budidaya selama dua bulan. Satu kolam milik Ashari bisa menampung sekitar 60.000 bibit lele piton.
Dari budidaya lele piton, Ashari bisa meraih omzet hingga Rp 80 juta setiap kali panen dalam tempo dua hingga tiga bulan. “Laba bersihnya bisa sampai Rp 50 juta tiap kali panen,” ujarnya sumringah.
Untuk mendapatkan panen lele piton siap konsumsi yang maksimal, menurut Ludvi, saat menabur bibit, kebersihan air dan kolam harus terjaga dengan kadar keasaman air (pH) yang tinggi. “Habitat yang paling bagus untuk lele piton adalah kolam tanah,” saran dia.
Untuk urusan pakan, lele piton cukup diberi pelet tiga kali sehari dengan waktu pemberian: pagi, sore, dan malam. Kalau ingin lele bertubuh makin bongsor, pelet bisa diberi campuran ampas tahu atau ikan yang telah ditumbuk halus. “Ini untuk menambah protein dalam tubuh ikan,” kata Ludvi.
Dengan hanya menggunakan bahan-bahan alami, Ludvi bilang, lele piton memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan yang diberi asupan bahan kimia. Rasanya juga berbeda, karena memiliki tekstur daging yang lebih empuk.
Selain ke pasar, Ludvi juga menjual lele piton hasil budidayanya ke warung-warung makan yang menyajikan menu pecel lele. Lele piton banyak dipilih, lantaran ukurannya yang lebih besar serta dagingnya yang lebih gurih.
Setiap harinya, Ludvi memasok 10 kg ke warung pecel lele. Tapi, ia berencana juga mengolah daging lele piton menjadi kerupuk dan abon

Budidaya Ikan Nila Keramba Jaring Apung, Produksi Lebih Tinggi

Bagi Saiful dan teman-temannya, Sungai Pulau Banyak memiliki potensi besar yang bisa menghasilkan uang dalam jumlah besar bila dikelola dengan benar. Tidak hanya itu, lapangan pekerjaan bagi warga setempat juga akan terbuka.
“Sungai Pulau Banyak memiliki potensi fisik alam dengan kondisi aliran air secara pasang surut. Sungai itu memiliki kondisi surut pinggir sedalam 3 meter dan pasang dengan kedalaman 10 meter dengan kelebaran sungai berkisar 50- 60 meter,” jelas Saiful.
Saat ini, keramba jaring apung (KJA) yang dikelola Saiful menjadi pusat percontohan bagi desa-desa lainya khususnya di Kecamatan Tanjungpura sendiri. Bahkan bagi desa yang berada di luar Kecamatan Tanjungpura juga ikut meniru teknik budidaya keramba jaring apung yang dilakukan Saiful. “Produksi ikan yang kami peroleh cukup besar dibanding budidaya ikan yang dilakukan menggunakan kolam tanah,” ujarnya.
Selain harga jualnya yang berbeda, rasa ikan nila juga tidak berbau lumpur atau tanah. Sebab, keramba tersebut jauh menyentuh ke dasar tanah serta airnya juga berganti. “Sejauh ini kami tidak menemukan kendala baik dari segi budidaya maupun pemasaran ikan nila ini,” akunya.
“Ikan yang kami panen sudah ada agen penampungannya, baik agen yang berada di Kota Medan maupun agen yang datang dari Kabupaten Langkat sendiri,” ucap Saiful lagi.
Menurut dia, agen yang datang dari berbagai kecamatan di Langkat sering ‘membooking’ duluan agar ikan nila mereka dijual kepadanya, yang selanjutnya ikan tersebut dijual lagi ke berbagai daerah.
“Untuk agen yang datang langsung ke kolam. Kami jual berkisar Rp16.000-Rp18.000 per kg dengan jumlah ikan sebanyak 3 – 4 ekor tiap kilogramnya,” kata Saiful sembari menambahkan setiap agen yang datang rata-rata membeli ikan sebanyak 50 kg per hari.
Saiful yang didampingi rekan-rekannya di antaranya Khairuddin Tanjung, M Nasip, Karman, Abdul Kadir mengatakan, awalnya modal yang mereka keluarkan untuk budidaya ikan nila dengan KJA ini berkisar Rp157 juta untuk membuat 6 plong KJA.
Keramba yang mereka disain itu memiliki ukuran berkisar 10 x 4 meter per segi untuk tiap lubang. Dari hasil uji coba pertama yang mereka lakukan secara intensif di Desa Pulau Pulau Banyak ternyata membuahkan hasil yang cukup mengembirakan.
“Hasilnya sangat memuaskan. Dari penjualan ikan itu, kami terus menambah jumlah keramba dari 5 plong menjadi 12 plong dan sekrang menjadi 36 plong saat ini,” kata Saiful.
Keramba yang mereka gunakan itu menghabiskan dana berkisar Rp 157 juta untuk 6 plong. Dana tersebut untuk pembuatan fisik konstruksi keramba, seperti pembelian jaring madang, besil L (besi siku dan besi U), serta pembelian drum besi dan drum plastik dengan total dana berkisar Rp 37 juta.
Kemudian untuk biaya pembelian benih ikan, mereka mengeluarkan biaya berkisar Rp18 juta -Rp20 juta untuk 6 plong (lubang) keramba. Selain itu, mereka juga membeli pakan berupa pellet sebanyak 21 ton untuk kebutuhan pakan selama 6 bulan, dengan total biaya berkisar Rp137 juta. “Pakan inilah yang kami gunakan mulai benih ikan ditebarkan hingga panen atau dalam waktu antara 4mpat sampai lima bulan,” tutur Saiful.
Nah, untuk benih ikan yang mereka kembangkan, menurut Saiful, sebanyak 42 ribu ekor untuk 6 plong atau masing-masing lubang sebanyak 7.000 ekor dengan ukuran ikan antara 3-4 inci atau dengan berat benih ikan berkisar 7-8 gram per ekor ikan.
“Syukurlah, ikan yang kami kembangkan ini hingga sekarang sangat bersahabat dengan kondisi alam khususnya air Sungai Pulau Banyak ini. Ini bisa dilihat dari tingkat kematian ikan yang terbilang sedikit berkisar 10 persen dari jumlah benih yang ditaburkan sebanyak 42 ribu ekor ikan,” ucap Saiful.
Tadinya, mereka menargetkan keberhasilan ikan yang mereka budidayakan hanya berkisar 80% saja atau 20% tingkat kematian ikan. “Rendahnya tingkat kematian itu membuat kami lebih bersemangat lagi untuk mengembangkan ikan nila ini dalam jumlah yang banyak. Dan, alasan itu pula yang membuat budidaya ikan dengan keramba jaring apung di Desa Pulau Banyak semakin menjamur,” aku Saiful.
“Dengan budidaya keramba yang kami lakukan ini sedikitnya ada 20 orang yang ikut melakukan usaha yang sama. Dan, semuanya dilakukan dengan dana sawadana masyarakat itu sendiri meskipun keramba yang mereka buat hanya satu polong atau tiga plong per orangnya,” kata Saiful.
Dari hasil usaha itu, menurut dia, jelas menambah pendapatan ekonomi mereka. “Pengembangan ikan yang kami lakukan di Desa Pulau Banyak ini, sebelumnya kami mencontoh dan mempelajari dari hasil pengembangan ikan budidaya air tawar di daerah Danau Toba,” aku Khairudin Tanjung.
Pada tahun 2009 lalu, kata dia, untuk keramba intensif sebesar ini baru ada di Kabupaten Langkat tepatnya di wilayah Kecamatan Tanjungpura.
Namun, pengembangan budidaya ikan secara tradisionil cukup banyak yang dilakukan di dalam kolam atau menggunakan pengapungan dengan bahan bambu betung/bambu tali (keramba apung rakit).

Mashuri, Untung Ratusan Juta Dari Ikan Koi

Kota Blitar selama ini juga dikenal sebagai sentra budidaya ikan koi. Lihat saja, bila anda memasuki Kota Blitar, di sudut jalan Kota Blitar terdapat patung ikan koi, sebagai penanda kalau Kota Blitar adalah sentra Ikan Koi.
Boleh dibilang sebagian penduduk Kota Blitar menjadi peternak dan budidaya ikan koi, terutama mereka yang tinggal di dua kecamatan, yaitu Tambakboyo dan Kecamatan Kota Blitar. Seperti di Dusun Brisi Desa Tambakboyo, Kecamatan Tambakboyo, Blitar, separuh warganya menjalani profesi budi daya koi di samping menjalani aktivitas keseharian seperti petani dan membuat batu bata.
Di Kecamatan Tambakboyo terdapat 100 anggota Club Budidaya Ikan Koi. Adalah Mashuri (69), orang yang pertama kali yang memperkenalkan budi daya ikan koi kepada warga Tambakboyo. Kegiatan budidaya berawal dari kegemarannya terhadap jenis ikan koi yang bisa menghasilkan untung besar.
“Saya memulai budi daya ikan koi tahun 1982.Waktu itu saya pergi ke Sukabumi, Jawa Barat. Di sana terdapat 27 hektar lahan untuk budi daya ikan koi. Dari situlah saya punya ide untuk melakukan budidaya ikan koi di Blitar,” kata Mashuri.
Potensi Desa Tambakboyo Blitar sebagai sentra budidaya ikan koi sangat besar lantaran terdapat sumber air yang mengaliri kali-kali kecil di sekitar rumah penduduk dan sawah penduduk. Bahkan sumber air tersebut tidak pernah mati meski musim kemarau. Potensi tersebut menjadi modal untuk budidaya ikan koi bagi masyarakat dengan tujuan menambah pendapatan keluarga dan meningkatkan ekonomi masyarakat.Mula-mula dibangun kolam 1/5 hektar untuk budidaya ikan koi, dengan 2 ekor induk.
“Hasil budidaya ikan koi di Blitar sangat bagus dan tidak kalah dengan ikan koi dari Jepang. Bahkan permintaan untuk ikan koi dari luar daerah seperti Jakarta, Kalimantan dan Medan cukup tinggi. Bahkan para pembeli sering datang sendiri ke Blitar,” tambah Mashuri.
Untung Ratusan Juta
Dikatakan Mashuri, tujuan budidaya ikan oleh warga binaannya yaitu untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran. Dengan budidaya ikan koi warga tidak lagi bekerja ke luar negeri menjadi TKI/TKW. Alasannya keuntungan dari budidaya ikan koi sangat menjanjikan dan melebihi gaji seorang karyawan atau buruh pabrik. Setiap ikan koi yang ukuran 30-70 cm dijual dengan harga Rp 1 juta. Bahkan harga ikan koi paling murah Rp 300 ribu untuk ukuran sedang, sementara untuk ukuran kecil Rp 10-50 ribu per ekor.
“Istilah kami tidak ada ikan koi yang percuma, semua bibit ikan koi bernilai rupiah,” akunya. Selain keuntungan dari jual beli, para petani ikan koi juga mendapatkan keuntungan dari ajang kontes ikan koi.Di ajang kontes itu, para petani sering mendapatkan hadiah dan juga pengalaman dalam hal budidaya ikan koi.
Kontes dilakukan untuk promosi ikan koi kepada masyarakat, terutama jenis dan pola warna ikan koi. Selama ini jenis koi yang paling digemari oleh mayarakat,terutama wisatawan asing, adalah jenis kakau, merah putih,sintai,sowa. Ikan koi Blitar tidak kalah bersaing dengan ikan koi dari Jepang, pasalnya jenis ikan koi Blitar memiliki kelebihan warna dan panjang.
“Di Jepang budidaya ikan koi sudah maju dan jarang terkena virus.Sementara di Indonesia mudah sekali terkena virus karena rendahnya pengawasan dan pemeliharan. Juga debit air ikan koi sering menjadi masalah, sehingga virus mudah masuk,” terang pria yang menekuni budidaya ikan koi sejak tahun 1982 ini.
Ke depan Mashuri berharap pemerintah memberikan pembinaan kepada petani ikan terutama soal virus ikan koi. Dengan pembinaan dari pemerintah, para petani ikan koi bisa mendapatkan tambahan wawasan soal budidaya ikan koi. Karena tugas pemerintah adalah membina para petani ikan dan penyuluhan soal pentingnya budidaya ikan.
“Saya ingin masyarakat menekuni budidaya ikan koi. Dengan cara itu mereka bisa menjadi pengusaha dan enterprenur, sehingga tidak bergantung lagi untuk mencari pekerjaan di luar kota atau luar negeri. Karena dengan enterprenur mereka bisa sukses,” terang pria berkacamata ini dengan semangat.
Kendala di lapangan selama ini, kata Mashuri, kurangnya minat dari masyarakat untuk budidaya ikan. Faktor penyebabnya adalah rendahnya pendidikan dan minimnya semangat masyarakat untuk menjadikan diri sebagai wirausaha budidaya ikan koi.

Sunardi ‘Raja’ Istana Lele Situbondo

Cukup lima belas menit menunggu. Seorang pelayan sudah datang membawa enam tusuk lele panggang plus nasi hangat, lalapan dan sambal cabe merah ke meja. Aroma lele panggang dari perapian langsung menggoda selera. Menu ini menjadi andalan warung Istana Lele di Jalan Raya Banyuwangi, Kecamatan Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur.
Warung ini hanya berjarak lima kilometer di utara Taman Nasional Baluran. Istana Lele menjadi pilihan saya makan siang, Selasa 2 April 2013 lalu karena warungnya nyaman. Ada 10 gazebo yang bisa dipilih sebagai tempat menikmati lele sambil lesehan. Di pinggir gazebo, saya bisa menikmati hamparan ladang jagung milik petani.
Seperti namanya, menu andalan warung ini sudah bisa ditebak, lele. Ada lele panggang dan goreng. Bila tak suka lele, pengunjung bisa memilih gurame panggang sebagai altrnatif. Tapi sebagai menu utama, lele panggang sangat sayang sekali bila dilewatkan begitu saja.
Daging lele disajikan cukup empuk. Bumbu merah khas warung ini, merasuk hingga ke dagingnya. Rasa pedas sambal terasa sempurna.
Ukuran lele yang disajikan lebih besar dan gemuk dibandingkan lele yang kerap ditemui. Rahasia lainnya, lele di warung ini dibudidayakan secara organik. Sunardi, 56 tahun, pemilik Istana Lele, mengatakan, Istana Lele didirikan pada 2002. Bermula dari profesi sampingannya sebagai peternak lele, Sunardi mendapat pesanan lele goreng dari teman-temannya. Ternyata banyak kawannya ketagihan dengan masakan Sunardi dan menyarankan dia membuka warung.
Lelaki dua anak itu kemudian membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya. Saat itu pensiunan pegawai Balai Penelitian Tanaman Pertanian ini membuka warung di perumahan balai. Sehari sebanyak lima kilogram lele habis terjual. Istana Lele semakin ramai dan warungnya sudah tak mampu menampung pembeli.
Lima tahun kemudian, Sunardi memindahkan Istana Lele di tempat seperti sekarang ini, yang berjarak 300 meter dari warung sebelumnya. Di lahan 6.000 meter persegi ini, Sunardi membangun rumah, mendirikan 10 gazebo plus 7 kolam lele. “Sekarang paling sedikit 50 kg lele habis,” kata dia, Selasa 2 April 2013.
Tujuh kolam lele miliknya, ternyata kurang untuk memenuhi kebutuhan. Sunardi akhirnya bekerja sama dengan satu kelompok petani lele di desanya. Dalam satu minggu, dia membeli 2 kwintal lele dari petani. Selain itu dia juga mendatangkan bahan baku dari Kabupaten Jember sebanyak 6 kwintal dalam sebulan.
Seluruh lele yang dihidangkan dibudidayakan dengan cara organik. Pakan lele tak menggunakan konsentrat tetapi tepung ikan, tepung udang plus 12 campuran organik lainnya. Dengan pakan organik inilah, lele milik Sunardi lebih berdaging dan panjang.
Cara membuat lele panggang ternyata gampang. Setelah dibersihkan, lele kemudian dipanggang seperti sate. Setelah itu dilumuri bumbu rujak. Lele disimpan dulu hingga ada pembeli kemudian dipanggang lagi supaya tetap hangat. Cara seperti ini, kata Sunardi, yang membuat penyajian lele tidak butuh waktu lama.
Satu porsi lele yang berisi enam tusuk dibanderol harga Rp 22 ribu. Satu porsi lele panggang ini cukup dinikmati untuk tiga orang sekaligus. Istana lele milik Sunardi tak pernah sepi pengunjung. Pelanggannya justru banyak berasal dari luar Kabupaten Situbondo seperti Banyuwangi hingga Bali.
Rahmawati, pembeli Istana Lele dari Banyuwangi, mengatakan, rasa lele panggang cukup gurih di lidah. Apalagi tidak banyak warung yang menyediakan menu lele panggang. “Kebanyakan hanya menjual lele goreng,” kata dia.
Dia mengaku baru pertama kali makan di Istana Lele. Namun nama Istana Lele cukup sering dia dengar dan direkomendasikan oleh teman-temannya.
Tak terasa, satu porsi lele yang saya santap kini tinggal tulang-belulangnya saja. Pedas dan gurih lele panggang yang tersisa di lidah saya tutup dengan es jeruk manis. Sungguh makan siang saya terasa sempurna.

Tinggalkan PNS, Purnani Sukses Bisnis Perikanan

Bergelut di dunia perikanan merupakan jalan hidup Purnani. Wanita yang lahir di Yogyakarta pada 27 Desember 1967 ini telah telah puluhan tahun menyelami dunia perikanan. Semua berawal dari keinginannya meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.
Purnani bukan berasal dari keluarga berada, makanya setelah lulus dari bangku SMA ia mencari sekolah tinggi tanpa biaya. Akhirnya, ia menemukan sekolah Ahli Usaha Perikanan (AUP) yang dibuka oleh Kementerian Pertanian. Ia mengambil jurusan Aquakultur di sekolah yang kini berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Perikanan (STP). “Jadi bukan saya mencari perikanan, tetapi seperti sudah terarah ke sana, makanya saya bilang ini jalan hidup,” ujar Purnani.
Usai menyelesaikan pendidikan tingginya di tahun 1989, Purnani menjalani ikatan dinas sebagai pegawai negeri hingga tahun 1992. “Tapi saya putuskan untuk keluar untuk berwirausaha,” ujar Purnani seperti dilansir Kontan.co.id.
Awalnya, Purnani hanya menjadi pedagang yang keluar masuk pasar. Ia berbelanja ikan dari Muara Angke dan Muara Baru lalu menjualnya kembali. Purnani juga menjual sayur mayur untuk menambah pendapatan.
Tak puas dengan menjadi pedagang, Purnani mulai membudidayakan ikan pada tahun 1996. Salah seorang rekannya meminjam uang kepadanya dan menyerahkan tanah seluas 600 m2 sebagai jaminannya. Tanah itulah yang kemudian ia gunakan untuk budidaya.
Purnani mengawali usaha budidayanya dengan dengan membudidayakan lele dan gurame. Siapa sangka usaha budidaya ini justru sukses. Perlahan, Purnani memiliki tanah seluas 2.000 meter persegi.
Baru pada tahun 2000, Purnani beralih menjual ikan beku dan menjual aneka olahan ikan dari perusahaan besar. Dalam sebulan, Purnani mampu menjual 4 ton produk olahan ikan. “Saya lihat bidang ini berprospek sekali untuk digeluti,” ujar Purnani.
Makanya, sejak tahun 2007 ia mulai membuat aneka makanan berbahan baku ikan. Tetelan ikan kakap dan udang yang biasanya tak terpakai atau dijual murah, diubah Purnani menjadi makanan olahan yang menarik, “Saya buat jadi bernilai ekonomi tinggi,” kata Purnani.
Ide mengolah makanan dari bahan baku ikan datang dari orang yang tidak suka makan ikan karena bau yang amis ataupun duri. Adapun produk-produk olahannya adalah siomay, otak-otak, pangsit, nugget, bakwan, ekado, bakso ikan, lumpia, kaki naga, udang gulung, martabak, pastel, donat dan sebagainya.
Seluruh produk makanan beku buatan Purnani dikemas dengan menggunakan merek dagang Benning Food. Dengan produk olahan ini, Purnani mengharapkan seseorang yang mulanya tidak menyukai ikan bisa mengkonsumsi ikan.
Karena kreativitasnya ini, pada tahun 2009, CV Bening Jati Anugrah milik Purnani memperoleh penghargaan Adibakti Mina Bahari dari menteri kelautan dan perikanan sebagai juara I Kategori UKM Pengolahan Terbaik tingkat Nasional.
Kini setiap bulannya, Purnani bisa memproduksi 10 ton hingga 15 ton produk olahan ikan. “Omzetnya sekitar Rp 500 juta hingga Rp 600 juta per bulan,” ujar Purnani. Selain memasarkan ke pasar tradisional dan berbagai agen, produknya juga dipasarkan melalui Lotte yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Tak Patah Arang
Menjadi sukses tidaklah mudah. Seringkali pelaku usaha harus jatuh bangun lebih dahulu sebelum mencapai tujuannya. Hal inilah yang juga dialami Purnani. Hambatan tidak membuat wanita ini patah semangat. Ia justru berusaha mengambil hikmah dan tak pernah patah semangat dalam membesarkan usahanya, CV Bening Jati Anugrah.
Setelah sukses melakukan budidaya ikan, wanita yang pernah menjadi pegawai negeri ini juga berusaha membina warga sekitar lokasi ia tinggal, yaitu di Ciseeng untuk ikut membudidayakan ikan. “Banyak petani yang ambil bibit dari saya, saya bina, hasilnya saya bantu juga pasarkan kalau mereka kesulitan memasarkan sendiri,” ujar Purnani.
Sayang, usaha ini hanya bertahan selama empat tahun. Karena pada tahun 2000 banjir besar yang melanda kawasan Jabodetabek juga melanda kolamnya. Nah yang tidak bisa ia mengerti, para warga sekitar yang ia bantu malah juga menjarah ikan miliknya. Gilanya, ikan hasil jarahan itu dijual kembali kepada Purnani. “Semua dijarah di depan mata saya,” kenang Purnani yang kala itu memiliki lahan budidaya seluas 2.000 meter persegi.
Kecewa, Purnani memutuskan untuk pindah dari lokasi tersebut dan berhenti dari usaha budidaya ikannya. Meski sempat frustasi, Purnani masih meyakini bahwa dunia perikanan adalah jalan hidupnya. Ia pun tak mau menyia-nyiakan jaringan petani ikan dan pedagang pasar yang sudah dikenalnya dengan baik. Dari situlah, ia memutuskan untuk menjadi penjual ikan milik para petani.
Kemudian pada tahun 2003, Purnani mulai banting stir berjualan makanan olahan ikan seperti nugget, siomay dan otak-otak. Ketika itu, salah seorang rekannya yang bekerja di perusahaan ritel, Makro (kini bernama Lotte) untuk menjadi pemasok. “Dari situlah saya mulai bergelut di dunia ikan beku,” ujar Purnani.
Cukup berpengalaman menjadi pemasok ikan olahan, Purnani pun akhirnya berpikir untuk mengembangkan usahanya menjadi produsen makanan beku dari olahan ikan pada tahun 2007. Apalagi ia sudah memiliki modal jaringan kuat untuk bahan bakunya. Rezeki pun mengalir deras dari lini ini.
Tetapi cobaan tak berhenti menghampiri Purnani. Ia ditipu oleh rekan kerjanya, bahkan berkali-kali. Dengan dalih membutuhkan modal, mereka meminjam dana kepadanya. Bukannya mengembalikan, mereka malah kabur. “Rata-rata ditipu di atas Rp 100 juta. Yang paling telak, mencapai Rp 180 juta dan terjadi dua kali,” ujar ibu empat anak ini.
Ada pula yang mengambil banyak barang dari tokonya dengan sistem kredit, namun karena tahu administrasi tokonya masih belum terlalu bagus, rekannya tak mau membayar hutang pembelian produk tersebut. “Nota hutangnya hilang, dia tahu kami tak ada bukti jadi dia tak mau bayar,” kenang Purnani.
Kemudian ada warga binaannya yang mengaku-aku bisnis Purnani miliknya dan meminjam uang dengan jaminan Purnani. Kejadian ini membuat Purnani selektif dalam meminjamkan dana dan memperbaiki administrasi usaha serta laporan keuangannya.
Lebih dari dua puluh tahun menjalani bisnis perikanan, kini Purnani bisa meraup omzet ratusan juta rupiah setiap bulan. Dengan usaha tersebut, Purnani juga menciptakan lapangan pekerjaan. Ia memiliki karyawan tetap 25 orang dan 15 orang karyawan borongan harian.
Purnani tidak ingin sukses sendirian. Ia ingin menularkan kepiawaiannya berbisnis kepada masyarakat. Makanya, Purnani selalu menerima orang yang ingin belajar tentang perikanan.
Bagi yang ingin membuka usaha produksi, Purnani akan melatih dan mengajari pembuatan sebuah produk. “Kalau kesulitan memasarkan, saya bantu pemasaran juga,” ujar wanita yang mengaku tidak takut akan bertambah saingan ini.
Menurut perhitungannya, setidaknya ada sekitar 500 orang yang sudah pernah dilatihnya. “Saya ingin memunculkan wirausahawan baru,” kata Purnani bersemangat.
Sejumlah kiat diberikan oleh Purnani supaya sukses dalam berwirausaha. Ada tiga modal yang harus dimiliki yakni pertama modal kepepet. Menurutnya, orang yang kepepet biasanya memiliki tekad yang bulat untuk usaha dan punya keinginan besar.
Kedua, harus menyukai usaha yang digeluti. “Kalau dia sudah senang dan hobi, dalam hasil usaha akan ada sentuhan hatinya. Ada masalah apapun, dia akan berusaha bertahan dan tidak mudah putus asa,” ujar Purnani.
Modal terakhir adalah ketekunan dalam mengembangkan usaha. Soal permodalan uang, Purnani menilai bukan hal utama. Modal dana akan datang dengan sendirinya jika wirausahawan menunjukkan apa yang dia kerjakan berguna bagi orang lain.
Lihat saja, ketika mengawali usahanya, Purnani tidak banyak mendapatkan perhatian. Tetapi ketika usahanya mulai berjalan, instansi pemerintah daerah mulai memperhatikan bantuan permodalan atau pendanaan. “Percuma kalau cuma ngomong modal dana, tapi kita tidak merintis,” kata dia.
Toh, Purnani belum cukup puas dengan usaha yang dicapai. Ia masih bercita-cita membuka mini market yang khusus menjual aneka produk berbahan dasar ikan, mulai dari ikan beku, aneka olahan ikan dan sebagainya. “Impian saya di setiap pasar tradisional yang sesuai target pemasaran akan saya buka ruko mini market tersebut,” ujar Purnani.
Untuk mewujudkan mimpinya, Purnani mulai merintis dengan membuka Bening Mart. Gerai pertamanya dibuka di Depok, Jawa Barat. Sasaran utamanya adalah selain masyarakat juga pemain usaha katering kelas kecil dan menengah. Meski sudah banyak ritel bermunculan, Purnani yakin bisa bersaing. Sebab, varian produknya banyak, tanpa bahan pengawet dan murah.
Purnani juga akan kembali terjun ke dunia budidaya yang sempat ditinggalkannya. Bedanya kali ini adalah ikan hias. Ia akan menggunakan lahan seluas 1.700 meter persegi untuk budidaya ikan hias. Sementara sisanya seluas 1.300 meter persegi akan digunakan sebagai budidaya ikan untuk bahan baku produknya.
 
Copyright © 2013. 'Azolla' Fish Farm - All Rights Reserved
Template Created by ThemeXpose