Games

Showing posts with label qur'an hadits. Show all posts
Showing posts with label qur'an hadits. Show all posts

Mukadimah Ilmu Hadits

Berkata Asy-Syaikh ‘Izzudin ibnu Jama’ah:

عِلْمُ الْحَدِيْثِ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتَنِ
“Ilmu hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dasar untuk mengetahui keadaan suatu sanad atau matan.”
Topik Pembahasan Ilmu Hadits
Topik pembahasan ilmu hadits adalah sanad dan matan.
Tujuan Mempelajari Ilmu Hadits
Mengetahui hadits-hadits yang shahih dari yang selainnya.
Sanad atau Isnad
السَّنَدُ أَوِ (الإِسْنَادُ): هُوَ سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الْمَوْصِلَةُ إِلَى الْمَتَنِ
Sanad atau isnad yaitu silsilah (mata rantai) perawi yang menghubungkan kepada suatu matan.
Matan
الْمَتَنُ: هُوَ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ السَّنَدُ مِنْ كَلاَمٍ
Matan adalah ucapan atau kalimat yang berhenti padanya sebuah sanad.
Contoh sanad dan matan:
قال الإمام البخاري رحمه الله تعالى:
Berkata Imam Al-Bukhari rahimahullaahu:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيُّ أَنَهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى إِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»۱
Sanad hadits yaitu perkataan Imam Al-Bukhari rahimahullâhu حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ sampai perkataan beliau سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
Matan hadits yaitu sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» sampai sabda beliau «فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
Perawi hadits, mereka adalah: Al-Humaidi ‘Abdullah bin Az-Zubair, Sufyan, Yahya bin Said Al-Anshari, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
Shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut adalah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
Penulis hadits (yakni yang mengeluarkan hadits tersebut adalah Imam Al-Bukhari rahimahullaahu.
Apa makna perkataan الحَدِيْثُ أَخْرَجَهُ فُلاَنٌ “hadits ini dikeluarkan oleh fulan”?
Jawab: Makna perkataan الحَدِيْثُ أَخْرَجَهُ فُلاَنٌ adalah hadits tersebut dibawakan oleh fulan lengkap dengan sanadnya.
Hadits
الحَدِيْثُ: هُوَ مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ (سُكُوْتُ عَنْ فِعْلٍ حَدَثَ أَمَامَهُ) أَوْ صِفَةٍ (خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ)
Hadits ialah semua yang warid dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam baik yang berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan (diamnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari perbuatan yang terjadi di hadapannya) atau sifat (postur tubuh/perilaku).
Contoh hadits qauli (perkataan):
Dari Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى إِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
ِ
Aku mendengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya, barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia yang ingin dicapainya atau untuk wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Contoh hadits fi’li (perbuatan):
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallaahu anhuma, ia berkata: “Dahulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun malam untuk shalat, menggosok giginya dengan siwak.”
Contoh hadits taqriri (persetujuan):
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: أَهْدَتْ أُمُّ حُفَيْدٍ خَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقِطًا وسَمْنًا وَأَضُبًّا فَأَكَلَ مِنَ الأَقِطِ والسَّمْنِ وَتَرَكَ الضَّبَّ تَقَّذُّرًا وَأَكَلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata: “Bibiku Ummu Hufaid pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa mentega, keju dan daging dhabb (sejenis biawak). Beliau makan keju dan menteganya, dan beliau meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, kemudian makanan yang dihidangkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dimakan (oleh para shahabat). Jika (dhabb itu) haram, niscaya kami tidak akan makan hidangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Contoh hadits washfi (sifat lahiriah):
عَنْ أَبِيْ إِحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ البَرَاءَ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا أَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ
Dari Abi Ishaq, berkata: “Aku mendengar Al-Bara’ radhiyallaahu ‘anhu mengatakan: ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik (tampan) wajahnya, paling bagus postur tubuhnya, tidak tinggi jangkung dan tidak terlalu pendek.’”
Contoh hadits washfi (sifat batiniah/akhlaq/perilaku):
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya.”
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِيْنَ فَمَا أَعْلَمُهُ قَالَ لِي قَطُّ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلاَ عَابَ عَلَيَّ شَيْئًا قَطُّ
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu juga, ia berkata: “Aku mengabdi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun, sekalipun aku tidak pernah mendengar (mengetahui) beliau mengatakan kepadaku: ‘Kenapa kamu melakukan seperti ini dan seperti itu?’ Beliau juga tidak pernah mencelaku sedikitpun.”
Apa perbedaan antara hadits, atsar, dan khabar?
- Hadits khusus hanya digunakan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Adapun atsar, khusus digunakan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka.
Kadang-kadang atsar ini digunakan untuk khabar-khabar yang disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan taqyid (catatan). Contohnya seperti perkataan: “Dan di dalam atsar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ….” Adapun secara mutlak, atsar berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada para shahabat dan orang-orang yang setelah mereka.
Contoh atsar:
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”
- Sedangkan khabar lebih umum, mencakup hadits dan atsar.
Hadits dilihat dari segi diterima atau tidaknya terbagi menjadi tiga, yaitu: shahih, hasan, dan dha’if.
Footnote:
(۱) هكذا أخرجه البخاري، باب: كيف كان بدء الوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم … بدون قوله صلى الله عليه وسلم «فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله»
1 Demikian hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullaahu, bab: “Kaifa kaana bada’ul wahyi ilaa Rasulillaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” tanpa lafazh:
«فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ»
(Dinukil dari شرح المنظومة البيقونية karya Abul Harits Muhammad bin Ibrahim Khiraj As-Salafi Al-Jazairi, edisi Indonesia: Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits (Penjelasan Al-Manzhumah Al-Baiquniyah), penerjemah: Abu Hudzaifah, penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’ Sukoharjo, cet. ke-2 Juni 2008M, hal. 8-13


Derajat Hadits Shalat Tasbih

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abbas bin Abdil Muthalib: “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah aku memberimu? Maukah aku melakukan sepuluh perkara untukmu, bila engkau melakukannya Allah ampuni dosa-dosamu yang pertama dan yang terakhir, yang lama maupun yang baru, yang sengaja maupun yang tidak disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang rahasia maupun yang terang-terangan; yaitu engkau shalat empat raka’at, membaca al fatihah dan surat di setiap raka’at, lalu setelah selesai engkau baca: subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar 15x, kemudian ruku dan membaca itu 10x, kemudian I’tidal membaca 10 kali juga, kemudian sujud membaca 10x, kemudian mengangkat kepala dan membaca 10x, kemudian sujud lagi membaca 10x kemudian mengangkat kepala kembali membaca 10x, itu semua jumlahnya 75 kali setiap rakaat, dan engkau lakukan itu empat raka’at. Jika engkau mampu melakukannya setiap hari, lakukanlah. Bila tidak mampu maka setiap seminggu sekali, bila tidak mampu maka sebulan sekali, dan bila tidak mampu maka setahun sekali dan bila tidak mampu maka lakukanlah seumur hidup sekali”.
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (2/46 no 1297) dengan sanad: “haddatsana Abdurrahman bin Bisyr bin Al Hakam An Nisaburi haddatsana Musa bin Abdul ‘Aziz, haddatsana Al Hakam bin Aban, dari Ikrimah dari ibnu Abbas”.
Derajat Hadits
Dalam sanad hadits ini terdapat Musa bin Abdul ‘Aziz dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar: “Shaduq sayyi’ul hifdzi”. Artinya buruk hafalannya dan ini adalah lemah yang ringan, namun ia di-mutaba’ah oleh Ibrahim bin Al Hakam bin Abaan. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Al Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (4/156 no 1018) secara mursal. Beliau berkata: “Akhbarana Ahmad bin Abdullah Ash Shalihi akhbarana Abu Bakar Ahmad bin Al Hasan Al Hiiri akhbarana Hajib bin Ahmad Ath Thuusi akhbarana Muhammad bin Raafi’ akhbarana Ibrahiim bin Al Hakam bin Abaan haddatsanii ayahku dari Ikrimah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Wahai Abbas.. dst’”. Namun Al Hakim dalam Al Mustadrak menyebutkan bahwa Ishaq bin Ibrahim telah me-maushul-kan hadits ini.
Saya katakan, akan tetapi Ibrahim bin Al Hakam bin Abaan ini dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar: “Dha’iif (lemah)”. Dan mutaba’ah ini setidaknya menguatkan jalan Musa bin Abdil ‘Aziz.
Dan hadits Al Abbas ini mempunyai jalan lain juga dari hadits Abu Rafi’ yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Sunan-nya no 482: “Haddatsana Abu Kuraib haddatsana Zaid bin Hubab Al ‘Ukliyy haddatsana Musa bin ‘Ubaidah haddatsani Sa’id bin Abi Sa’id Maula Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm dari Abu Rafi’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Al ‘Abbas… dst’”. Namun dalam sanadnya terdapat Musa bin Ubaidah, yang dikatakan oleh Al Hafidz: “Dha’iif terlebih pada periwayatannya dari Abdullah bin Diinar”. Dan juga Sa’id bin Abi Sa’id maula Abu Bakr bin Hazm, ia adalah majhul sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz. Akan tetapi sanad inipun menguatkan hadits Al ‘Abbas, dimana bila digabungkan dengan sanad di atas dapat terangkat menjadi hasan lighairihi.
Dan hadits ini mempunyai syawahid yang semakin menguatkannya, diantaranya adalah:
1.Hadits Abdullah bin ‘Amru radliyallahu ‘anhu
Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/47 no 1298:  ”haddatsana Muhammad bin Sufyan Al Ubulli haddatsana Habbaan bin Hilal Abu Habiib haddatsana Mahdii bin Maimuun haddatsana Amru bin Malik dari Abil Jauzaa haddatsani seorang shahabat yang mereka pandang dia adalah Abdullah bin Amru ia berkata: “Nabi bersabda kepadaku: “Datanglah kepadaku besok, aku akan memberimu sesuatu”. Aku mengira beliau akan memberikan kepadaku harta. Beliau bersabda: “Apabila siang telah pergi berdirilah dan empat rakaat.. beliau menyebutkan hampir sama (dengan hadits Al Abbas).. beliau bersabda: “Angkatlah kepalamu dari sujud kedua dan duduklah dengan sempurna dan jangan berdiri sampai kamu membaca tasbih 10 kali, tahmid, takbir dan tahlil masing-masing sepuluh kali, dan lakukan itu di empat rakaat”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya jika kamu orang yang paling besar dosanya di muka bumi ini, niscaya dosamu akan terampuni dengan shalat tersebut”. Aku berkata: “Bagaimana jika aku tidak dapat melaksanakannya di waktu tersebut?” beliau bersabda: “Lakukanlah di waktu malam atau siang”.
Sanad hadits ini hasan, semua perawinya tsiqah kecuali ‘Amru bin Malik. Dikatakan oleh Al Hafidz: “Shaduq lahu auhaam”. Akan tetapi Abu Dawud menyebutkan adanya perselisihan dalam sanad ini, beliau berkata: “Al Mustamirr bin Ar Rayyaan meriwayatkan dari Abil Jauzaa dari Abdullah bin Amru secara mauquf”.
Al Mustamirr ini seorang perawi yang tsiqah, ia menyelisihi Amru bin Malik dalam periwayatannya. Namun kalaupun dikatakan bahwa hadits ini mauquf, akan tetapi dapat dihukumi marfu’ karena perkara ini tidak mungkin berasal dari hasil ijtihad Abdullah bin Amru’. Dan periwayatan Al Mustamirr ini tidak dianggap sebagai illat, justru sebagai mutaba’ah yang kuat bagi ‘Amru bin Malik, sehingga hadits ini mengangkat hadits Al ‘Abbas menjadi shahih.
2.Hadits Al Anshariyy
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya 2/48 no 1299: “Haddatsana Abu Taubah Ar Rabii’ bin Naafi’ haddatsana Muhammad bin Muhajir dari ‘Urwah bin Ruwaim haddatsani Al Anshari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ja’far dengan hadits ini, dan ia menyebutkan yang sama dengannya”.
Semua perawinya tsiqah kecuali Al Anshariyy. Al Hafidz Ibnu Hajar condong kepada pendapat bahwa ia adalah shahabat yang bernama Abu Kabsyah, bila memang benar ia maka hadits ini shahih. Sehingga dengan dua syahid ini tampak dengan jelas keshahihan hadits shalat tasbih. Adapun perbuatan Ibnul Jauzi yang memasukkan hadits shalat tasbih ke dalam kitab hadits-hadits palsu adalah kesalahan beliau. Para ulama setelah beliau mengingatkan kesalahan ini seperti yang disebutkan oleh As Suyuthi dalam Al Laalii Al Mashnu’ah, demikian pula Ibnul ‘Arraak dan Al Laknawi dan Al Hafidz Ibnu Hajar.
Fiqih hadits
Hadits ini menunjukkan disunnahkannya shalat tasbih dan keutamaannya amat besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Siapakah yang Dimaksud “Ahlul Qur’an”?

Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Alquran ini semata-mata diturunkan untuk diamalkan isinya. Dengan demikian, manusia pun menjadikan pembacaannya sebagai bentuk amal shalih.” (lihat: Akhlaq Hamalatil Qur’an karya Al-Ajuri)
Ahlul qur’an adalah orang-orang yang mengetahui seluk-beluk Alquran dan yang mengamalkannya, bukan semata membaca huruf-hurufnya. Dalam kitab Shahih Muslim, diriwayatkan dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu; dia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘ Alquran akan didatangkan pada hari kiamat bersama ahlinya yaitu orang-orang yang mengamalkan kandungannya di dunia, Surat Al-Baqarah dan Surat Ali Imran pun mendahuluinya (dan menjadi pembela bagi orang yang membaca dan mengamalkannya, ed.).’”
(Hadits tersebut) merupakan tafsir terhadap hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Anas bin Malik; dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memiliki ahli-ahli dari kalangan manusia.’ Mereka (para shahabat, pen.) berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah ahlul Qur’an yaitu ahlu Allah dan Orang-orang yang istimewa di sisi-Nya.’”
*
Teks asli:
أهل القران قال الفضيل رحمه الله: «إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا». أخلاق حملة القرآن للآجري (38). فأهل القرآن هم العالمون به والعاملون بما فيه، لا بمجرد إقامة الحروف، ففي صحيح مسلم عن النواس بن سمعان رضي الله عنه قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «يؤتى بالقرآن يوم القيامة وأهله الذين كانوا يعملون به تقدمه سورة البقرة وآل عمران»، وهو مفسر لما رواه ابن ماجة عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إنَّ لله أهلين من الناس ) قالوا يا رسول الله مَن هم ؟ قال (هم أهل القرآن أهل الله وخاصته)
Sumber: http://al-badr.net/muqolat/2797
***

Imam Abu Dawud

Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, dalam edisi sebelumnya, kita telah mengenal biografi beberapa ulama ahli hadits seperti al-Imam al-Bukhari dengan karyanya Shahih al-Bukhari dan al-Imam Muslim dengan karyanya Shahih Muslim. Masih dalam tema Silsilah Ulama Ahli Hadits, pada kesempatan ini kita kembali akan berkenalan dengan salah seorang ulama ahli hadits yang tidak asing di kalangan penuntut ilmu yaitu al-Imam Abu Dawud dengan karya besarnya Sunan Abi Dawud.
Beliau adalah seorang ulama panutan umat, ulama yang berpegang kuat dengan bimbingan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang memiliki hafalan yang kuat dan seorang ahli hadits kota Bashrah.
Dia lah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani atau yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dawud as-Sijistani.
Beliau dilahirkan pada tahun 202 H di daerah Sijistan. Sijistan adalah sebuah propinsi kecil yang berbatasan dengan daerah Sind (Pakistan). Terletak di sebelah barat Hirrah (Afghanistan), sebuah daerah di negeri Khurasan. Di sebelah selatannya adalah padang sahara yang tandus. Daerah Sijistan banyak dipenuhi oleh pepohonan kurma dan pasir.
Al-Imam Abu Dawud tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan cahaya ilmu terutama ilmu hadits.

Perjalanan Menuntut Ilmu
Rihlah (perjalanan) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka menuntut ilmu, telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan yang sangat penting sejak zaman para sahabat dan para ulama setelahnya terutama di dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah beliau berkeliling dunia, pindah dari satu negeri ke negeri lain, menuntut ilmu dari banyak ulama, mengumpulkan ilmu kemudian menulis dan mencapai puncak karirnya sebagai seorang ahli hadits.
Di antara para ulama yang beliau temui tercatat 2 ulama yang sangat terkenal yaitu al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Imam Yahya bin Ma’in. Dari mereka berdua lah beliau belajar ilmu hadits.
Beliau mulai melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu semenjak usia yang masih belia yaitu 18 tahun. Untuk pertama kalinya beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 220 H.
Beliau berkata, “Aku memasuki kota Kufah pada tahun 221 Hijriyah.  Kemudian aku memasuki  kota Damaskus dan mencatat hadits dari Abu an-Nadhr al-Faradisi –seorang ulama yang banyak menangis– pada tahun 222 Hijriyah.”
Di samping itu, beliau juga melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Mesir, Saudi Arabia, Syam, Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam rangka menuntut ilmu kepada para ulama yang berada di negeri-negeri tersebut.
Karena seringnya melakukan perjalanan di dalam menuntut ilmu, beliau mendapat julukan ar-Rahal (orang yang banyak melakukan perjalanan).
Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan, “Beliau termasuk salah seorang ulama ahli hadits yang banyak melakukan perjalanan sampai ke ujung-ujung dunia dalam rangka menuntut ilmu.”
Adapun para ulama yang menuntut ilmu kepada beliau adalah; al-Imam Abu Isa at-Tirmidzi (teman beliau), al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, kedua putra beliau yaitu Abdullah bin Abi Dawud dan Abu Bakar bin Abi Dawud, Abu Bisyr ad-Daulabi, Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi, Abu Bakar bin Abi Dunya, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal al-Faqih dll.
Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa al-Imam Ahmad pernah meriwayatkan satu hadits dari beliau.
Beliau tinggal di kota Baghdad selama beberapa waktu sambil menyebarkan ilmu di kota tersebut. Dan tidak terhitung berapa kali banyaknya beliau singgah di kota Baghdad. Terakhir beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 272 H.
Beliau mengatakan, “Aku mencatat hadits-hadits Rasulullah sebanyak 500.000 hadits. Kemudian aku memilih dari sekian hadits tersebut untuk aku letakkan ke dalam kitab Sunan-ku.” Di dalam kitab Sunan beliau terkandung 4800 hadits.
Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa jumlah hadits yang tertulis dalam Sunan Abi Dawud mencapai 5274 hadits.

Pujian Para Ulama
Abu Bakar al-Khallal berkata, “Abu Dawud adalah seorang tokoh ulama panutan umat pada zamannya. Dan belum ada seorang pun yang mendahuluinya dalam masalah ilmu. Beliau adalah seorang yang mendalam dalam masalah ilmu pada zamannya serta memiliki sifat wara’ (menjauhkan diri dari hal-hal yang haram).”
Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i berkata, “Para ulama telah sepakat dalam pujiannya terhadap Abu Dawud, beliau adalah seorang yang memiliki ilmu yang luas, kuat hafalannya, wara, berpegang teguh dengan agama, memiliki pemahaman yang tajam dalam ilmu hadits dan yang lainnya.”
Ahmad bin Muhammad bin Yasin berkata, “Abu Dawud adalah salah seorang penghafal Islam dalam hadits Rasulullah baik secara ilmu, cacat-cacat hadits dan sanadnya. Beliau mencapai derajat tertinggi dalam masalah ibadah, menjaga kehormatan diri, baik akhlaknya, wara’ dan termasuk orang yang cerdas dalam masalah hadits.”
Dan para ulama yang sezaman dengan beliau benar-benar mengakui kekuatan hafalannya dan menjadikan beliau sebagai tokoh pada zamannya.
Al-Hafizh Musa bin Harun mengatakan, “Abu Dawud diciptakan ke dunia hanya untuk hadits dan di akhirat untuk Jannah (surga).”
Abu Hatim bin Hibban mengatakan, “Abu Dawud adalah salah seorang ulama dunia, baik secara pemahaman, keilmuan, banyaknya hafalan, ibadah, wara’ dan kekuatan hafalannya. Beliau mengumpulkan, menulis dan membela ajaran Rasulullah.”
Al-Hafizh Abu Abdillah bin Mandah mengatakan, “Para ulama ahli hadits yang mampu membedakan antara hadits yang shahih dengan yang cacat dan mampu membedakan antara yang salah dengan yang benar ada empat orang; al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i.
Abu Abdillah al-Hakim berkata, “Abu Dawud adalah seorang imam ahli hadits pada zamannya tanpa diragukan lagi.”
Musa bin Harun mengatakan, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari Abu Dawud.”
Al-Hafizh Zakaria as-Saji berkata, “Kitabullah adalah pokok Islam dan kitab Abu Dawud adalah wasiat Islam.”
Al-Imam al-‘Aini berkata, “Di samping beliau adalah seorang tokoh terdepan dalam ilmu hadits, beliau juga termasuk tokoh ahli fikih.” Dan kitab-kitab beliau adalah sebagai saksi atas pernyataan tersebut.
Beliau termasuk murid pilihan al-Imam Ahmad. Al-Imam Abu Dawud menekuni majelis al-Imam Ahmad selama beberapa waktu dan banyak bertanya kepada beliau tentang beberapa permasalahan yang sangat mendalam dalam hal pokok dan cabang.
Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa sahabat yang menyerupai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal bimbingan dan akhlak adalah Abdullah bin Mas’ud. Dan ‘Alqamah adalah orang yang menyerupai Abdullah bin Mas’ud. Ibrahim an-Nakha’i adalah orang yang menyerupai ‘Alqamah. Manshur bin al-Mu’tamir adalah orang yang menyerupai Ibrahim an-Nakha’i. Kemudian Sufyan ats-Tsauri adalah orang yang menyerupai Manshur bin al-Mu’tamir. Waki’ bin al-Jarrah adalah orang yang menyerupai Sufyan ats-Tsauri. Sementara Ahmad bin Hanbal adalah orang yang menyerupai Waki’ bin al-Jarrah. Dan Abu Dawud adalah orang yang menyerupai Ahmad bin Hanbal.
Setelah beberapa waktu lamanya beliau berkeliling dunia untuk menuntut ilmu, beliau pun kembali ke daerah asalnya yaitu Sijistan.
Namun setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya beliau memutuskan untuk berpindah ke kota Bashrah dan menjadikannya sebagai tempat bermukim.
Dan Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjaga beliau untuk tetap istiqamah di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di saat berkembangnya pemikiran sesat pada masa hidup beliau. Sosok al-Imam Ahmad bin Hanbal benar-benar memberikan pengaruh pada diri beliau di dalam berpegang teguh dengan kebenaran. Beliau wafat pada tanggal 16 Syawwal tahun 275 Hijriyah di kota Bashrah dalam usia 73 tahun.
Al-Imam Abu Dawud telah mencapai puncak karirnya dalam ilmu hadits dan telah meninggalkan kepada kita berbagai warisan yang sangat berharga dalam bentuk karya tulis.

Karya Tulis Beliau
1. Kitab Sunan (Sunan Abi Dawud)
2. Al-Masa`il Allati Khalafa ‘alaiha al-Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Ijabatuhu ‘ala Su`alat al-Ajurri
4. Risalah fi Washfi Ta’lifihi li Kitab Sunan
5. Az-Zuhd
6. Tasmiyah Ikhwah Alladzina Rawa ‘anhum al- Hadits.
7. Kitab Marasil
8. Kitab fi Rijal
9. Kitab al-Qadr
10. Kitab Nasikh
11. Musnad Malik
12. Kitab Ashab asy-Sya’bi
Para pembaca rahimakumullah, dari kisah di atas kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting di antaranya:
1. Keteguhan al-Imam Abu Dawud di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di saat berkembangnya pemikiran sesat pada masa hidup beliau.
2. Semangat beliau dalam menuntut ilmu walaupun harus melakukan perjalanan ke berbagai negara.
3. Semangat beliau dalam mendakwahkan kebenaran di antaranya dengan menulis berbagai kitab yang bermanfaat bagi kaum muslimin sampai saat ini.
Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati beliau dan memasukkan ke dalam Jannah-Nya. Amin.

Penjelasan Hadits tentang Niat

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu)
Pada edisi perdana ini, sengaja kami mengangkat syarh hadits ‘Umar bin Khoththob yang masyhur tentang niat ini ke hadapan para pembaca dalam rangka mencontoh beberapa ulama salaf yang memulai karangan mereka dengan membawakan hadits ini. Berkata Imam ‘Abdurrahman bin Mahdy sebagaimana dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah hal. 10 : “Sepantasnya bagi setiap orang yang mengarang suatu karangan untuk membukanya dengan hadits ini sebagai peringatan kepada para penuntut ilmu untuk memperbaiki niat”. Dan di antara para ulama yang membuka karangannya dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhary dalam Shohih Al-Bukhary, Imam ‘Abdul Ghony Al-Maqdasy dalam ‘Umdatul Ahkam dan Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin dan dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Takhrijul Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.
Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnya ghorib karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Yahya.
Komentar Para Ulama :
Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat dalam menerimanya”.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang disepakati akan keshohihannya dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya faedahnya”.
Berkata Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam yang lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya dibandingkan hadits ini”.
Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Sy afi’iy, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa hadist ini adalah sepertiga ilmu.
Hal ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut”. Lihat Syarh Arbain hal 10.
Abdurrahman bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab ilmu”. Sedangkan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa masuk ke dalam 70 bab fiqhi.
Sababul Wurud (Sebab Keluarnya) :
Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.
Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ
”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fataw a (22/218) : “…, karena sesungguhnya sebab keluarnya hadits ini adalah bahwa seorang lelaki berhijrah dari Mekkah ke Medinah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois, maka Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam berkhutbah di atas mimbar dan menyebutkan hadits ini”.
Adapun Al-Hafidz Ibnu Hajar, maka beliau berkata dalam Fathul Bary (1/10) : ”Akan tetapi tidak ada di dalamnya (yakni hadits Ibnu Mas’ud di atas) yang menunjukkan bahwa hadist Al A’mal (hadits ‘Umar) diucapkan (oleh Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam) dengan sebab hal tersebut, dan saya tidak melihat sedikitpun pada jalan-jalan hadits tersebut (hadits Ibnu Mas’ud) ada yang tegas menunjukkan tentang hal tersebut”.
Berkata Ibnu Rajab : “Dan telah masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah sebab sabda Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam (“barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi”) dan hal ini disebutkan oleh kebanyakan al-muta`akhkhirun (para ulama belakangan) dalam karangan-karangan mereka. Akan tetapi saya tidak melihat hal itu ada asalnya dengan sanad yang shohih, wallahu a’lam”. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75)
Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut Tatsrib (2/25-26) : “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang shahabat –sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu- yang menyebutkan lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu Qois yang disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya adalah Qilah”.
Sebagai kesimpulan bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya saja kalau dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits tentang niat ini maka ini adalah perkara yang tidak diterima karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan hal tersebut, wallahu a’lam.
Kosa Kata Hadits :
  • Kata innam a(hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy (13/54) dan Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin (1/168).
  • kata al-a’mal (setiap amalan). Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).
Berkata Al-Hafidz dalam Al-Fath (1/13) yang maknanya : “Dan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang dilakukan oleh mukallaf (yang terkena beban syari’at). Dibangun di atas hal ini, apakah amalan orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini?, yang nampak bahwa amalan mereka tidak termasuk karena amalan-amalan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan ibadah dan ibadah tidak syah dari seorang yang kafir walaupun mereka dituntut untuk mengerjakannya dan disiksa karena meninggalkannya”.
Dan Al-Hafidz Al-‘Iraqy menyebutkan bahwa amalan di sini mencakup semua amalan anggota tubuh termasuk ucapan, karena ucapan adalah amalan lidah dan lidah termasuk dari anggota tubuh.
  • Kata an-niyat (niat-niat). Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak.
Adapun secara istilah, niat adalah memaksudkan sesuatu dengan disertai pengamalan sesuatu tersebut. Lihat Al-Fatawa(18/251) dan (22/218) dan Hasyiyah Ar-Roudhul Murbi’ (1/189)
  • Hijroh secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama.
Syaikh Ibnu Utsaimin membagi hijrah menjadi tiga jenis :
  • Hijrah tempat, yaitu seseorang berpindah dari suatu tempat yang banyak maksiat, kefasikan, dan mungkin dari negara kafir kepada negara yang tidak dijumpai hal-hal tersebut.
  • Hijrah amalan, yaitu seseorang meninggalkan suatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang dari berbagai jenis kemaksiatan dan kefasikan.
  • Hijrah pelaku, yaitu seseorang menjauhi orang yang terang-terangan berbuat maksiat dengan syarat akan timbul maslahat yang besar ketika dia menjauhi orang tersebut.
Lihat Syarh Riyadhus Sholihin (1/15).
Syarh (Penjelasan) :
Pembahasan tentang hadits ini dari beberapa sisi :
  • Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha(Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :
اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.
Hal ini nampak jelas dari perkataan para ulama dalam menafsirkan hadits ini :
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “… dan ada kemungkinan taqdir (makna secara sempurna) dari sabda beliau “setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya” adalah bahwa setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya, berpahala atau tidak berpahala- ditentukan oleh niat-niatnya, sehingga hadits ini menerangkan tentang hukum suatu amalan secara syar’iy”. Lihat Fathul Bary (1/13)
Dan semakna dengannya perkataan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dalam syarh beliau terhadap hadits ini : “Sesungguhnya setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya- hanyalah dengan sebab niatnya”.
  • Sabda beliau “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” memberikan tambahan makna yang tidak ditunjukkan oleh potongan hadits sebelumnya. Berkata Ibnu Daqiqil ‘ Ied rahimahullah dalam Ihkamul Ahkam (1/10) : “(Lafadz ini) mengharuskan bahwa barangsiapa yang meniatkan sesuatu maka itu yang dia dapatkan dan semua yang dia tidak niatkan maka dia tidak akan mendapatkannya”.
Faedah didatangkannya kalimat “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” setelah kalimat “sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya” dari beberapa sisi :
    • Penjelasan bahwa menentukan apa yang dia niatkan juga adalah syarat syahnya suatu amalan. Misalnya jika seseorang masuk ke dalam mesjid setelah adzan Zhuhur lalu sholat 2 raka’at, maka tidak cukup baginya hanya berniat untuk sholat dua raka’at akan tetapi harus dia menentukan niatnya, yaitu apakah dua raka’at ini adalah sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah rawathib atau sekedar sholat sunnah mutlak. Hal ini dikatakan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81)
    • Di dalamnya terdapat dalil bahwa semua amalan yang bukan ibadah terkadang bisa mendapatkan pahala bila orang yang mengamalkannya meniatkan dengannya ibadah. Misalnya memberikan nafkah kepada keluarga –yang asalnya adalah bukan amalan ibadah- dengan niat menjalankan kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan kepadanya terhadap keluarganya, maka perbuatannya ini akan diberikan pahala sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqq ash dari Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam bahwa beliau bersabda kepadanya :
وَإِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ
“… dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang kamu harapkan dengannya wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (HSR. Bukhary-Muslim)
    • Sesungguhnya setiap amalan yang zhohirnya adalah ibadah akan tetapi bila dilakukan dengan niat sekedar adat kebiasaan maka amalannya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali sampai dia niatkan dengannya ibadah, walaupun amalannya dianggap syah. Lihat Thohut Tatsrib (2/10).
    • Berkata Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulum (1/65) : “Bukanlah kalimat (yang kedua) ini sekedar pengulangan dari kalimat yang pertama, karena kalimat yang pertama menunjukkan bahwa syahnya amalan atau rusaknya sesuai dengan niat yang mengharuskan terjadinya amalan tersebut. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa pahala orang yang beramal atas amalannya sesuai dengan niatnya yang baik dan bahwa siksaan atasnya (dia peroleh) sesuai dengan niatnya yang rusak. Dan terkadang niatnya adalah niat yang mubah sehingga amalannya dianggap amalan mubah yang tidak menghasilkan pahala atau siksaan”.
  • Sabda beliau “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya” adalah kalimat syarat sedangkan “maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya” adalah kalimat jawaban dari syarat. Kaidah dalam ilmu bahasa Arab bahwa kalimat syarat harus berbeda dengan kalimat jawaban dari syarat, sedangkan dalam hadits ini kalimat syarat dan jawabannya memiliki lafadz yang sama. Maka dalam hal ini para ulama memberikan tiga jawaban :
    • Bahwa perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya bisa dari sisi lafadz –dan ini kebanyakannya- dan bisa pula dari sisi makna –sebagaimana dalam hadits ini-, dan ini bisa dipahami dari konteks hadits.
    • Samanya lafadz antara kalimat syarat dan jawabannya berfungsi untuk menunjukkan makna melebih-lebihkan atau memperbesar-besar perkara, apakah dalam rangka pengagungan terhadap suatu amalan –sebagaimana dalam hadits ini- atau sebaliknya dalam rangka menghinakan suatu amalan. Kedua jawaban ini disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (1/16)
    • Ada kata yang terbuang yang dengannya akan nampak perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya, sengaja dihilangkan karena sudah jelas maknanya. Taqdir (makna secara sempurna) dari kalimat ini adalah : “Maka barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka pahala dan ganjaran hijrahnya kepada Allah dan RasulNya”. Ini adalah jawaban dari Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah dalam Syarhul Arba’in hal. 12.
  • Sabda beliau Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam “barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” di dalamnya terdapat dua faedah :
    • Dalam kalimat ini Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam hanya menyebutkan kalimat jawaban syarat dengan sabdanya “maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” dan tidak mengulangi lafadznya sebagaimana ketika beliau menyebutkan tentang hijrah karena Allah dan RasulNya. Hal ini menunjukkan akan rendah dan hinanya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya sekaligus menunjukkan rendah dan hinanya dunia dan wanita bila keduanya dijadikan sebagai niat dalam beribadah.
    • Fitnah-fitnah dalam beragama sangatlah banyak, pemberian contoh dalam hadits dengan fitnah dunia dan fitnah wanita menunjukkan besarnya kedua fitnah ini dibandingkan fitnah-fitnah lainnya dan lebih terkhusus lagi fitnah wanita karena disebutkan secara sendiri –padahal wanita termasuk dari dunia- menunjukkan fitnah wanita lebih besar daripada fitnah dunia.
Berikut beberapa hadits dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang menunjukkan besarnya kedua fitnah ini serta wajibnya seorang muslim untuk menghindar dari kedua fitnah ini :
  • Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu :
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayat diikuti (ke kuburan) oleh tiga (perkara), akan kembali dua dan akan tinggal (bersamanya) satu. Dia diikuti oleh keluarganya, hartanya dan amalannya, maka akan kembali keluarga dan hartanya sedang yang tinggal adalah amalannya”. (HSR. Bukhary-Muslim)
  • Hadits Miswar bin Makhromah radhiallahu ‘anhu :
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Maka demi Allah, bukan kemiskinan yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi yang saya takut atas kalian adalah dilapangkannya dunia kepada kalian sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian kemudian kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka telah berlomba-lomba, lalu dunia tersebut menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka”. (HSR. Bukhary-Muslim)
  • Hadits Ka’ab bin ‘Iyadh radhiallahu ‘anhu :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai fitnah dan fitnahnya ummatku adalah harta”. (HR. At-Tirmidzy)
  • Hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah kepada manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para wanita”. (HSR. Bukhary-Muslim)
  • Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu :
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita, maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?, beliau menjawab : Ipar adalah kematian”. (HSR. Bukhary-Muslim)
  • Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu bahwa sekedar niat yang baik dalam beramal sama sekali tidaklah cukup sebagai sebab diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi –sebagaimana yang dimaklumi- bahwa suatu amalan –bagaimanapun besar dan hebatnya- tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari siapapun juga kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :
    • Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar ini.
    • Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam, makna ini yang terkandung dalam hadits :
  • مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘ A`isyah radhiallahu ‘anha)
Dan penjelasan tentang dua syarat ini insya Allah akan kita bahas lebih meluas pada tempatnya.
Beberapa faedah yang terdapat dalam hadits ini :
  • Bantahan terhadap Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka yang menolak pendalilan dengan hadits ahad dalam perkara ‘aqidah. Karena hadits ini adalah hadits Ghorib sebagaimana telah berlalu akan tetapi tidak ada seorangpun di kalangan para ulama yang menolak berdalilkan dengan hadits ini dalam masalah niat yang merupakan perkara penting dalam ‘aqidah.
  • Bantahan atas Murji’ah yang berkata bahwa iman adalah dengan sekedar ucapan lisan walaupun tanpa keyakinan dalam hati. Hal ini terbantah dengan nash-nash yang jelas dan kesepakatan di kalangan para ulama bahwa sesungguhnya orang-orang munafik berada di dasar neraka yang paling bawah, padahal mereka mengucapkan kalimat tauhid.
  • Tidak boleh beramal sebelum mengetahui hukumnya, karena mustahil seseorang bisa berniat dengan niat yang benar bila dia tidak memiliki ilmu tentang amalan tersebut.
  • Wajibnya memberikan perhatian dan penjagaan terhadap amalan-amalan hati, juga wajib berhati-hati dari riya, sum’ah dan beramal untuk mendapatkan dunia.
  • Hendaknya orang yang memberikan suatu kaidah memberikan perincian dan contoh pengamalan dari kaidah tersebut sehingga lebih mudah dipahami dan diamalkan. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam setelah beliau memberikan kaidah “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”, beliau merinci dan memberi contoh dengan sabdanya “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya …” sampai akhir hadits.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “Dua kalimat ini (yaitu “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”) adalah dua kaidah yang tidak ada satupun amalan yang keluar darinya, lalu beliau menyebutkan setelahnya satu contoh dari contoh-contoh amalan yang bentuknya satu tapi berbeda baik dan buruknya sesuai dengan niat-niatnya, dan beliau seakan-akan bersabda : “Dan seluruh amalan yang lain berjalan di atas contoh ini”.
  • Bantahan terhadap sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits shohih disyaratkan minimal adalah hadits ‘aziz.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
{Lihat : Thorhut Tatsrib 2/20, Al-‘Ilam 1/207, Jami’ul ‘Ulum (1/72)dan Majmu’ul Fatawa (18/279-280)}
(Diringkas oleh Abu Mu’awiyah dari pelajaran Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah yang dibawakan oleh Ust. Dzulqarnain hafizhohullah)
Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006
====================================
Hadits Ahad adalah hadits yang belum mencapai derajat mut awatir. Sedangkan hadits mutaw atir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanad yang mustahil secara adat kebiasaan mereka sengaja berkumpul untuk membuat suatu kedustaan.
Hadits Ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang.
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dari dua orang.
 
Copyright © 2013. 'Azolla' Fish Farm - All Rights Reserved
Template Created by ThemeXpose